Friday, 17 June 2016

Radikalisme



http://makassarliterasi.blogspot.com/



Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen UIN Alauddin Makassar

Radikalisme dan terorisme itu sejenis iman yang pejal. Ia datang tidak sebagai nubuat purba yang terlontar dari langit kudus. Ia justru hadir untuk merayakan satu hal: kekerasan. Sebab itu, bagi Derrida, radikalisme dan terorisme pun mesti didekonstruksi. Dalam Acts of Religion (2002), Derrida mengandaikan terorisme sebagai krisis “oto-imunisasi”. Di sini, ia hendak menjelaskan sebuah gejala, bagaimana masyarakat yang punya imunitas menghancurkan sendiri mekanisme pertahanan dirinya.

Derrida mendaku, proses oto-imunisasi berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap perang dingin. Pada 1980-an Amerika Serikat melatih milisi tempur di Afganistan. Mereka adalah sekutu Amerika melawan Rusia. Berakhinya perang dingin, menyudahi pula perseteruan dua blok itu. Tapi mentalitas, infrastruktur, dan haus perang masih tetap mendidih di sana. Itulah akumulasi-hasrat yang kelak meledakkan gedung kembar WTC, 11 September 2001.

Tahap kedua, ditandai dengan melubernya sarana-sarana kekerasan, mulai dari senjata nuklir hingga senjata bilogis. Bahkan kelompok tak beridentitas, bisa dengan mudah merakit bom sendiri. Ancaman kekerasan tidak lagi terbit dari negara adikuasa Amerika dan Rusia, tapi dari kelompok yang sama sekali tak bernama.
Tahap ketiga,  mengandaikan kekerasan, teror, dan radikalisme sebagai episentrum. Atas nama “perang melawan terorisme”, semua kekerasan boleh dilakukan. Akibatnya, proses “saling teror” berlangsung dan aneka kekerasan pun terawetkan.

Sejak kehadirannya pada 2003, ISIS telah menjadi percakapan dan menyulut kontroversi publik internasional. Pasalnya, ISIS menjelma sebagai gerakan politik yang solid dan punya asupan dana yang kuat. Keberadaan ISIS ditengarai lebih berbahaya daripada jaringan internasional AlQaeda karena mereka punya “teritori” tertentu dan legitimasi politik. ISIS hadir pada momen yang tepat, ketika negara-negara Arab tengah menghadapi musim paceklik demokrasi akibat badai revolusi.

ISIS menyelinap, tapi tak mulus, dalam pancaroba demokrasi terutama di Irak dan Suriah. Mereka telah menjadikan kedua negara itu sebagai laboratorium untuk mengukuhkan ideologi kekerasan dan teror atas nama Islam. Dengan dana berlimpah, milisi pejuang yang solid, dan persenjataan militer modern, mereka memperluas jaringan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sel-sel radikalisme-ekstrem di dunia Islam, menjadi ladang subur bagi tumbuhnya ISIS. Ide Negara Islam dan khilâfah pun menjadi simpul gerakan dan pesona yang mereka jual.

Ayunan pedang dekonstruksi Derrida ingin menegaskan: radikalisme, terorisme, dan kekerasan atas nama agama tidak bisa “dihalau” dengan sekedar menyulut gerakan tendensius Global War on Terror! Tak juga cukup, jika negara hanya melegalkan pemberantasan terorisme lewat aneka regulasi dan institusi. Terlebih ide konyol BNPT tentang “sertifikasi ulama” dan tindakan mengerkah situs-situs yang dituding menebarkan “mantra hitam” radikalisme dan terorisme dalam sosial media.



EmoticonEmoticon