Oleh:
Mohd. Sabri AR
Dosen
UIN Alauddin Makassar
Radikalisme dan terorisme itu
sejenis iman yang pejal. Ia datang tidak sebagai nubuat purba yang terlontar
dari langit kudus. Ia justru hadir untuk merayakan satu hal: kekerasan. Sebab
itu, bagi Derrida, radikalisme dan terorisme pun mesti didekonstruksi. Dalam Acts of Religion (2002),
Derrida mengandaikan terorisme sebagai krisis “oto-imunisasi”. Di sini, ia
hendak menjelaskan sebuah gejala, bagaimana masyarakat yang punya imunitas
menghancurkan sendiri mekanisme pertahanan dirinya.
Derrida mendaku, proses
oto-imunisasi berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap perang dingin. Pada
1980-an Amerika Serikat melatih milisi tempur di Afganistan. Mereka adalah
sekutu Amerika melawan Rusia. Berakhinya perang dingin, menyudahi pula perseteruan
dua blok itu. Tapi mentalitas, infrastruktur, dan haus perang masih tetap
mendidih di sana. Itulah akumulasi-hasrat yang kelak meledakkan gedung kembar
WTC, 11 September 2001.
Tahap kedua, ditandai dengan
melubernya sarana-sarana kekerasan, mulai dari senjata nuklir hingga senjata
bilogis. Bahkan kelompok tak beridentitas, bisa dengan mudah merakit bom
sendiri. Ancaman kekerasan tidak lagi terbit dari negara adikuasa Amerika dan
Rusia, tapi dari kelompok yang sama sekali tak bernama.
Tahap ketiga, mengandaikan
kekerasan, teror, dan radikalisme sebagai episentrum. Atas nama “perang melawan
terorisme”, semua kekerasan boleh dilakukan. Akibatnya, proses “saling teror”
berlangsung dan aneka kekerasan pun terawetkan.
Sejak kehadirannya pada 2003, ISIS
telah menjadi percakapan dan menyulut kontroversi publik internasional.
Pasalnya, ISIS menjelma sebagai gerakan politik yang solid dan punya asupan
dana yang kuat. Keberadaan ISIS ditengarai lebih berbahaya daripada jaringan
internasional AlQaeda karena mereka punya “teritori” tertentu dan legitimasi
politik. ISIS hadir pada momen yang tepat, ketika negara-negara Arab tengah
menghadapi musim paceklik demokrasi akibat badai revolusi.
ISIS menyelinap, tapi tak mulus,
dalam pancaroba demokrasi terutama di Irak dan Suriah. Mereka telah menjadikan
kedua negara itu sebagai laboratorium untuk mengukuhkan ideologi kekerasan dan
teror atas nama Islam. Dengan dana berlimpah, milisi pejuang yang solid, dan
persenjataan militer modern, mereka memperluas jaringan di dunia Islam,
termasuk di Indonesia. Sel-sel radikalisme-ekstrem di dunia Islam, menjadi
ladang subur bagi tumbuhnya ISIS. Ide Negara Islam dan khilâfah pun menjadi
simpul gerakan dan pesona yang mereka jual.
Ayunan pedang dekonstruksi Derrida
ingin menegaskan: radikalisme, terorisme, dan kekerasan atas nama agama tidak
bisa “dihalau” dengan sekedar menyulut gerakan tendensius Global War on Terror!
Tak juga cukup, jika negara hanya melegalkan pemberantasan terorisme lewat
aneka regulasi dan institusi. Terlebih ide konyol BNPT tentang “sertifikasi
ulama” dan tindakan mengerkah situs-situs yang dituding menebarkan “mantra
hitam” radikalisme dan terorisme dalam sosial media.
EmoticonEmoticon