Saturday, 18 June 2016

Bajak Laut di Bima abad XIX



http://makassarliterasi.blogspot.com/

Oleh: Suradin
Mahasiswa Pasca Sarjana UNM

Bajak laut selama ini hanya hadir di ruang publik dengan tampil di layar kaca dengan matanya yang  tertutup satu. Kapal dengan bendera tengkorak cukup identik dengan bajak laut. Aktifitas mereka adalah melakukan perompak dan menghadang kapal-kapal dagang kemudian memgambil muatannya serta awaknya dijadikan budak belian untuk dijual. Bahkan bajak laut tidak segan-segan membakar kapal yang mereka bajak serta menyerang kampung-kampung di pesisir pantai.

Apa yang digambarkan dalam film yang berjudul Pirates of the Caribbean dimana Kapten Jack Sparrow sebagai kapten kapal adalah memberikan gambaran tentang aktifitas bajak laut. Dimana dalam film tersebut Kapten Jack Sparrow ditugaskan oleh Lord Cutler Beckett untuk mengantar kargo milik East India Trading Company.

Walaupun sebelumnya Jack tidak mengetahui bahwa dalam kargo tersebut adalah budak-budak dari Afrika. Itu cerita filmnya. Apakah sepenuhnya benar, belum tentu juga dan juga tidak selamanya salah. Sebab bajak laut memang benar-benar ada sampai sekarang. Salah satu karya yang fenomenal yang menjelaskan aktifitas bajak laut yakni buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut buah karya Nahkoda sejarah Maritim Asia Tenggara A.B. Lapian.

Pada abad ke-19 Pulau Sumbawa berada dalam jaringan maritim Nusantara yang menghubungkan pelayaran dari arah barat ke timur. Meletusnya Gunung Tambora 11 April 1815 telah membawa bencana yang cukup serius terhadap penduduk setempat. Kerajaan Pekat dan Tambora hilang seketika ditelang lahar panas. Kerajaan Bima dan Dompu serta Sumbawa yang berada di Pulau Sumbawa tentu mengalami dampak yang cukup parah akibat letusan Tambora.

Pasca meletusnya Tambora 1815, bajak laut segera bereaksi dengan  melakukan penjarahan di beberapa perkampungan pesisir utara pulau Sumbawa. Bajak laut ini, teridentikasi merupakan bajak laut Tobelo dari Pulau Halmahera. Pada abad ke-19, sejumlah nama pemimpin kegiatan Tobelo sangat tersohor terkuak pada laporan pemerintah Hindia Belanda dalam memberantas kegiatan mereka yang dinamakannya sebagai bajak laut, seperti Robodoi, Surani, Palili, dan Laba. Kegiatan  mereka terutama di perairan Laut Flores (Rahman Hamid, 2013:214).

Berita yang lebih tua tentang pengembaraan mereka di luar Maluku ditemukan dalam Syair KerajaanBima (ditulis sekitar tahun 1830). Syair ini antara lain mengisahkan tentang serangan bajak laut Tobelo tahun 1819 terhadap negeri pantai yakni Sanggar, Kore, Wera dan Sape (Lapian, 1999:133) Pelaku penyerangan itu digambarkan dalam Syair, rambutnya panjang, berjalan beriringan seperti semut. Tubuhnya hitam kencut (b.226). Mereka menyerang Sanggar, sehingga raja dan keluarganya melarikan diri ke hutan. Demikian juga rakyatnya. “Sudahlah binasa negeri Wera, orang yang senang menjadi huru hara, segenap hutan tempat mengembara, lupakan anak dengan saudara” (b.227).

Sesudah menyerang negeri Wera, mereka melanjutkannya ke negeri Sape. Tetapi, penyerangan terakhir ini mendapat perlawanan dari darat. Utusan Kerajaan Bima, yang memimpin perlawanan itu adalah Jeneli Parado dan Bumi Waworada. Dengan mengerahkan tenaga yang banyak (“tiadalah tersebut segala temannya, beberapa puluh orang banyaknya, sampailah hari dengan ketikanya, berjalanlah ke Sape sekaliannya” (b.233).

tindakan perlawanan dan penumpasan dilakukan untuk mencegah terjadinya penyerangan, khususnya di Bima, dilakukan penjagaan malam oleh orang Bima bersama orang Melayu dan Bugis (b.234) Para Penghulu dan matoa dikerahkan untuk berjaga. Penghulu Melayu bernama Abdul Syukur (b.237), sedangkan matoa Bugis adalah Paslik (b.238). mereka berperang melawan penyerang itu (b.242) (Loir, 2004:296-299).
Formasi pertahanan yang digunakan oleh orang Bima dalam menghadapi serangan, digambarkan dalam Syair, bagaikan “ikatan perang garuda mengeram. Kepalanya (maksdunya: pemimpinnya) terselit masuk ke dalam” (b.272). pasukan dibagi dalam sayap kanan dan kiri, bagian dada dan tubuh, beserta ekor garuda. Sayap kanan dipimpin oleh Rato Waworada (b.268), sayap kirinya adalah Imam Usman, yang menjadi dada dan tubuh adalah Jeneli Parado (b.270), dan ekor adalah Daeng Palina (b.271) perlawanan ini berhasil karena “dilindungi oleh segela malaikat, segala Islam supaya selamat” (b.276) (Loir, 2004:302-303).

Dalam laporan kapal-kapal Portugis di abad ke-16 bahwa Pulau Moyo yang berada sebelah barat Gunung Tambora merupakan sarang bajak lauk. Bajak laut di pulau ini sering menghadang kapal-kapal yang sedang berlayar ke arah timur pada saat muson barat. Laksamana Portugis Alfonso de Alburquerque setelah menduduki Malaka pada 1511 menunjuk perwira utamanya Antonio de Abreu bersama wakilnya Fransisco Serrao untuk mencari “Kepulauan rempah-rempah”. De Alburquerque melimpahinya komando armada 3 kapal dan pada bulan November 1511 mereka meninggalkan Malaka menuju timor dan kepulauan Banda.
Seorang penduduk Melayu direkrut untuk memandu mereka ke Jawa, Nusa Tenggara, dan pulau Ambon hingga ke Banda, dan tiba pada awal tahun 1512. Ketika melintasi perairan Sumbawa, mereka sempat singgah di Sanggara yang berada sebelah timur Gunung Tambora untuk mendapatkan persediaan makanan dan air bersih dengan ditukar baju zirah serta persenjataan.

Pada masa berikutnya, Sanggara menjadi tempat transit yang sangat penting dalam jalur pelayaran menuju kepulauan Maluku. Portugis bahkan telah membuat peta pelayaran khusus dan menjadikan Sanggara sebagai pelabuhan transit utama. Di kerajaan ini orang-orang Portugis juga membeli kuda-kuda, hasil bumi, laut serta batu-batu mulia untuk dipertukarkan dengan rempah-rempah di Sulawesi maupun kepulauan Maluku (Mudhaffar, 2015:43)

Cerita bajak laut di negeri ini adalah merupakan bagian dari fenomena yang belum banyak terungkap di ruang-ruang baca. Kalaupun ia hadir, lebih menitit beratkan pada cerita heroik seseorang yang mengalahkan bajak laut. Sesungguhnya keberadaan bajak laut tidak sepenuh merugikan Kerajaan/Kesultanan dalam melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar. Kerajaan Sriwajaya di Sumatra justru menggunakan bajak laut sebagai kekuatan armada maritimnya. Begitu juga dengan Kesultanan Bima setelah pemerintah Hindia Belanda berusaha memonopoli (menguasai) perdagangan di Pelabuhan Bima, maka sultan berusaha membangun kerja sama dengan bajak laut untuk menyelundupkan kayu sapan dan beberapa komoditi dagang lainnya.


EmoticonEmoticon