
Oleh:
Suradin
Mahasiswa
Pasca Sarjana UNM
Bajak laut selama ini hanya hadir di
ruang publik dengan tampil di layar kaca dengan matanya yang tertutup
satu. Kapal dengan bendera tengkorak cukup identik dengan bajak laut. Aktifitas
mereka adalah melakukan perompak dan menghadang kapal-kapal dagang kemudian
memgambil muatannya serta awaknya dijadikan budak belian untuk dijual. Bahkan
bajak laut tidak segan-segan membakar kapal yang mereka bajak serta menyerang
kampung-kampung di pesisir pantai.
Apa yang digambarkan dalam film yang
berjudul Pirates of the Caribbean dimana Kapten Jack Sparrow sebagai
kapten kapal adalah memberikan gambaran tentang aktifitas bajak laut. Dimana
dalam film tersebut Kapten Jack Sparrow ditugaskan oleh Lord Cutler Beckett
untuk mengantar kargo milik East India Trading Company.
Walaupun sebelumnya Jack tidak
mengetahui bahwa dalam kargo tersebut adalah budak-budak dari Afrika. Itu
cerita filmnya. Apakah sepenuhnya benar, belum tentu juga dan juga tidak
selamanya salah. Sebab bajak laut memang benar-benar ada sampai sekarang. Salah
satu karya yang fenomenal yang menjelaskan aktifitas bajak laut yakni buku Orang
Laut, Bajak Laut, Raja Laut buah karya Nahkoda sejarah Maritim Asia
Tenggara A.B. Lapian.
Pada abad ke-19 Pulau Sumbawa berada
dalam jaringan maritim Nusantara yang menghubungkan pelayaran dari arah barat
ke timur. Meletusnya Gunung Tambora 11 April 1815 telah membawa bencana yang
cukup serius terhadap penduduk setempat. Kerajaan Pekat dan Tambora hilang
seketika ditelang lahar panas. Kerajaan Bima dan Dompu serta Sumbawa yang
berada di Pulau Sumbawa tentu mengalami dampak yang cukup parah akibat letusan
Tambora.
Pasca meletusnya Tambora 1815, bajak
laut segera bereaksi dengan melakukan penjarahan di beberapa perkampungan
pesisir utara pulau Sumbawa. Bajak laut ini, teridentikasi merupakan bajak laut
Tobelo dari Pulau Halmahera. Pada abad ke-19, sejumlah nama pemimpin kegiatan
Tobelo sangat tersohor terkuak pada laporan pemerintah Hindia Belanda dalam
memberantas kegiatan mereka yang dinamakannya sebagai bajak laut, seperti
Robodoi, Surani, Palili, dan Laba. Kegiatan mereka terutama di perairan
Laut Flores (Rahman Hamid, 2013:214).
Berita yang lebih tua tentang
pengembaraan mereka di luar Maluku ditemukan dalam Syair KerajaanBima (ditulis sekitar tahun 1830). Syair ini antara lain mengisahkan
tentang serangan bajak laut Tobelo tahun 1819 terhadap negeri pantai yakni
Sanggar, Kore, Wera dan Sape (Lapian, 1999:133) Pelaku penyerangan itu digambarkan
dalam Syair, rambutnya panjang, berjalan beriringan seperti semut.
Tubuhnya hitam kencut (b.226). Mereka menyerang Sanggar, sehingga raja dan
keluarganya melarikan diri ke hutan. Demikian juga rakyatnya. “Sudahlah binasa
negeri Wera, orang yang senang menjadi huru hara, segenap hutan tempat
mengembara, lupakan anak dengan saudara” (b.227).
Sesudah menyerang negeri Wera,
mereka melanjutkannya ke negeri Sape. Tetapi, penyerangan terakhir ini mendapat
perlawanan dari darat. Utusan Kerajaan Bima, yang memimpin perlawanan itu
adalah Jeneli Parado dan Bumi Waworada. Dengan mengerahkan tenaga yang banyak
(“tiadalah tersebut segala temannya, beberapa puluh orang banyaknya, sampailah
hari dengan ketikanya, berjalanlah ke Sape sekaliannya” (b.233).
tindakan perlawanan dan penumpasan
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyerangan, khususnya di Bima, dilakukan
penjagaan malam oleh orang Bima bersama orang Melayu dan Bugis (b.234) Para
Penghulu dan matoa dikerahkan untuk berjaga. Penghulu Melayu bernama Abdul
Syukur (b.237), sedangkan matoa Bugis adalah Paslik (b.238). mereka berperang
melawan penyerang itu (b.242) (Loir, 2004:296-299).
Formasi pertahanan yang digunakan
oleh orang Bima dalam menghadapi serangan, digambarkan dalam Syair, bagaikan
“ikatan perang garuda mengeram. Kepalanya (maksdunya: pemimpinnya) terselit
masuk ke dalam” (b.272). pasukan dibagi dalam sayap kanan dan kiri, bagian dada
dan tubuh, beserta ekor garuda. Sayap kanan dipimpin oleh Rato Waworada
(b.268), sayap kirinya adalah Imam Usman, yang menjadi dada dan tubuh adalah
Jeneli Parado (b.270), dan ekor adalah Daeng Palina (b.271) perlawanan ini
berhasil karena “dilindungi oleh segela malaikat, segala Islam supaya selamat”
(b.276) (Loir, 2004:302-303).
Dalam laporan kapal-kapal Portugis
di abad ke-16 bahwa Pulau Moyo yang berada sebelah barat Gunung Tambora merupakan
sarang bajak lauk. Bajak laut di pulau ini sering menghadang kapal-kapal yang
sedang berlayar ke arah timur pada saat muson barat. Laksamana Portugis Alfonso
de Alburquerque setelah menduduki Malaka pada 1511 menunjuk perwira utamanya
Antonio de Abreu bersama wakilnya Fransisco Serrao untuk mencari “Kepulauan
rempah-rempah”. De Alburquerque melimpahinya komando armada 3 kapal dan pada
bulan November 1511 mereka meninggalkan Malaka menuju timor dan kepulauan
Banda.
Seorang penduduk Melayu direkrut
untuk memandu mereka ke Jawa, Nusa Tenggara, dan pulau Ambon hingga ke Banda,
dan tiba pada awal tahun 1512. Ketika melintasi perairan Sumbawa, mereka sempat
singgah di Sanggara yang berada sebelah timur Gunung Tambora untuk mendapatkan
persediaan makanan dan air bersih dengan ditukar baju zirah serta persenjataan.
Pada masa berikutnya, Sanggara
menjadi tempat transit yang sangat penting dalam jalur pelayaran menuju
kepulauan Maluku. Portugis bahkan telah membuat peta pelayaran khusus dan
menjadikan Sanggara sebagai pelabuhan transit utama. Di kerajaan ini
orang-orang Portugis juga membeli kuda-kuda, hasil bumi, laut serta batu-batu
mulia untuk dipertukarkan dengan rempah-rempah di Sulawesi maupun kepulauan
Maluku (Mudhaffar, 2015:43)
Cerita bajak laut di negeri ini
adalah merupakan bagian dari fenomena yang belum banyak terungkap di
ruang-ruang baca. Kalaupun ia hadir, lebih menitit beratkan pada cerita heroik
seseorang yang mengalahkan bajak laut. Sesungguhnya keberadaan bajak laut
tidak sepenuh merugikan Kerajaan/Kesultanan dalam melakukan perompakan terhadap
kapal-kapal yang sedang berlayar. Kerajaan Sriwajaya di Sumatra justru
menggunakan bajak laut sebagai kekuatan armada maritimnya. Begitu juga dengan
Kesultanan Bima setelah pemerintah Hindia Belanda berusaha memonopoli
(menguasai) perdagangan di Pelabuhan Bima, maka sultan berusaha membangun kerja
sama dengan bajak laut untuk menyelundupkan kayu sapan dan beberapa komoditi
dagang lainnya.
EmoticonEmoticon