Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen UIN Alauddin Makassar
Ada pertanyaan dengan nada hasutan: “tentang Barbie”, “ya,
tentang boneka cantik mainan anak-anak itu, pernahkah terbayangkan jika
kehadirannya telah menelan bulat-bulat realitas sejati kehidupan kita”? Mungkin
belum. Mungkin juga tak akan.
Ketika boneka Barbie, untuk pertama kali merasuk
ke ruas-ruas rumah keindonesiaan kita pada dekade 80-an, sejumlah pihak
memandangnya sebagai jejak arus yang menyeret Indonesia ke dalam kancah
masyarakat konsumerisme global.
Sebuah boneka—yang lebih merupakan
kebutuhan kesekian dan tersier—tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan percakapan
ramai, tidak hanya di kalangan anak-anak tapi juga orang dewasa. Hasrat
memiliki Barbie kemudian dapat dibaca sebagai gejala kebiasaan baru:
membeli sesuatu yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan. Di sini, “nilai guna”
dikoyak oleh “nilai tanda” yang mengandaikan kelas, dan juga gengsi.
Kehadiran Barbie juga menggemakan satu hal,
hiperialitas: sebilah gejala apa yang diandaikan filsuf Jean Baudrillard
sebagai “realitas-realitas citraan” yang bahkan nampak lebih real ketimbang
realitas itu sendiri. Baudrillard, dengan menggunakan analisis
ekonomi-politik tanda mencoba mengungkap realitas-realitas hiper itu.
Dalam karya monumentalnya, Simulacra and Simulation
(1983), Baudrillard mendaku, simulasi adalah ‘refleksi tentang realitas’ atau
sebuah ‘realitas’ yang masih tersisa setelah sistem tanda, kode, atau
media telah melumatnya habis-habisan. Simulasi, sebab itu, muncul sebagai upaya
menciptakan kembali realitas-buatan sesuai kode yang dihasilkan media itu
sendiri.
Dengan demikian, ada tujuan yang secara sengaja menyebarkan
simulacrum, yakni tiruan, imitasi atau mimikri “yang lebih nyata dari realitas”
dan mengandaikan setiap ikhtiar pembedaan antara “benar” dan “salah”, “nyata”
dan “imajiner” atau “otentik” dan “palsu”, menjadi sesuatu yang tidak
lagi mungkin.
Hiperialitas memroduksi sebilah “citraan,” di
atas mana keaslian berbaur dengan kepalsuan, masa silam bertaut dengan masa
kini, dan tanda melarut dalam realitas. Di era komunikasi massa dan konsumsi
massa sekarang ini, Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang sesuatu
yang dilihatnya merasuk dalam semesta ‘kode’ yang terkait dengan dunia komputer
dan digital.
Kepesatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dewasa ini
menyusul ditemukannya prosesor mikro, bank memori, remote control,
telecard, laser disc dan internet—dalam pendakuan Baudrillard—tidak hanya
mampu memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, tapi bahkan lebih
fantastis lagi: dapat memproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia,
menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan, menyulap halusinasi,
ilusi, imajinasi, dan fantasi menjadi kenyataan, hingga menekuk realitas ke
dalam sebuah layar datar televisi dan disket.
Hiperealitas seperti media massa, disneyland,
shopping mall, televisi, dan internet—dalam pendakuan Baudrillard—nampak
lebih real dari pada kenyataan sesungguhnya, di mana model, kode, dan
citra hiperealitas bermetamorfosis sebagai pengontrol pikiran dan penculik
kesadaran manusia. Bagi Baudillard, realitas buatan, di titik ini, telah
kehilangan asal-usul, referensi faktual, atau pun kedalaman makna.
Disneyland umpamanya, merupakan realitas citraan
baru yang lebih real dari realitas sebenarnya. Sebagai konsekuensinya
realitas nyata kian kehilangan pesona dan daya tarik, bahkan sebaliknya
dipandang bukan-ralitas. Sementara itu, di tengah gemuruh haus-belanja sebagai
ciri masyarakat kontemporer, shoping mall justeru hadir sebagai pusat grafitasi
baru aktivias masyarakat konsumen.
Tapi lebih dari sekadar tempat belanja,
shoping mall juga merupakan dunia simulasi yang memproduksi realitas-realitas
buatan yang bersifat semu, namun di dalam kesemuannya itu justru menyodorkan
suasana menyenangkan ketimbang realitas sebenarnya. Dalam shoping mall, segala
sesuatu telah direduksi, dimanipulasi, dan disimulasi demi kesenangan dan
kenyamanan berbelanja. Elemen-elemen lain dalam shoping mall semisal restoran,
toko buku, tempat spa, salon, studio foto, semuanya dikemas dalam tema-tema
eksklusif, lux, kosmopolit, dan berkelas, tapi menyodorkan makna-dangkal.
Dalam bukunya, Sebuah Dunia yang Dilipat (1998), Amir
Piliang meluskiskan jika fenomena hiperialitas diikuti serangkain fenomena lain
seperti, hypercare (perwatan wajah dengan aneka kosmetika yang menggoda),
hypercommodity (merebaknya komuditas di hampir seluruh ruas kehidupan),
hyperconsumption (kerakusan konsumsi tanpa seleksi), hypermarket (pasar sebagai
pusat kesadaran, tanda, dan identitas baru), hypersensibility (ikhtiar
berlebihan mencapai kepuasaan inderawi), hypersexuality (pengumbaran kepuasan
sex-gila, seperti gejala “GLBT” yang merebak akhir-akhir ini), dan hyperspace
(runtuhnya makna ruang menyusul berkembangnya ruang-semu di dunia cyber), dan
seterusnya.
Demikianlah, sosok hiperialitas seperti boneka Barbie,
Rambo, Spiderman, Doraemon, Jurrasic Park, Batman, Robinhood, dan James Bond,
karena itu, tidak hanya hadir sebagai jagat kode yang merayakan kematian
realitas, namun nampak lebih karib dan nyata ketimbang tetangga kita sendiri!
EmoticonEmoticon