Tuesday 21 June 2016

Barbie, Jagat Kode dan Matinya Realitas






Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen UIN Alauddin Makassar

Ada pertanyaan dengan nada hasutan: “tentang Barbie”, “ya, tentang boneka cantik mainan anak-anak itu, pernahkah terbayangkan jika kehadirannya telah menelan bulat-bulat realitas sejati kehidupan kita”? Mungkin belum. Mungkin juga tak akan.

 Ketika boneka Barbie, untuk pertama kali merasuk ke ruas-ruas rumah keindonesiaan kita pada dekade 80-an, sejumlah pihak memandangnya sebagai jejak arus yang menyeret Indonesia ke dalam kancah masyarakat konsumerisme global. 

Sebuah boneka—yang  lebih merupakan kebutuhan kesekian dan tersier—tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan percakapan ramai, tidak hanya di kalangan anak-anak tapi juga orang dewasa. Hasrat memiliki Barbie kemudian dapat dibaca sebagai gejala kebiasaan baru: membeli sesuatu yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan. Di sini, “nilai guna” dikoyak oleh “nilai tanda” yang mengandaikan kelas, dan juga gengsi.

Kehadiran Barbie juga menggemakan satu hal, hiperialitas: sebilah gejala apa yang diandaikan filsuf  Jean Baudrillard sebagai “realitas-realitas citraan” yang bahkan nampak lebih real ketimbang  realitas itu sendiri. Baudrillard, dengan menggunakan analisis ekonomi-politik tanda mencoba mengungkap realitas-realitas hiper itu.

Dalam karya monumentalnya, Simulacra and Simulation (1983), Baudrillard mendaku, simulasi adalah ‘refleksi tentang realitas’ atau sebuah ‘realitas’ yang masih tersisa setelah sistem tanda, kode,  atau media telah melumatnya habis-habisan. Simulasi, sebab itu, muncul sebagai upaya menciptakan kembali realitas-buatan sesuai kode yang dihasilkan media itu sendiri. 

Dengan demikian, ada tujuan yang secara sengaja menyebarkan simulacrum, yakni tiruan, imitasi atau mimikri “yang lebih nyata dari realitas” dan mengandaikan setiap ikhtiar pembedaan antara “benar” dan “salah”, “nyata” dan “imajiner” atau  “otentik” dan “palsu”, menjadi sesuatu yang tidak lagi mungkin.

Hiperialitas memroduksi sebilah “citraan,” di atas mana keaslian berbaur dengan kepalsuan, masa silam bertaut dengan masa kini, dan tanda melarut dalam realitas. Di era komunikasi massa dan konsumsi massa sekarang ini, Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang sesuatu yang dilihatnya merasuk dalam semesta ‘kode’ yang terkait dengan dunia komputer dan digital.

Kepesatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dewasa ini menyusul ditemukannya  prosesor mikro, bank memori, remote control, telecard, laser disc dan internet—dalam  pendakuan Baudrillard—tidak hanya mampu memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, tapi bahkan lebih fantastis lagi: dapat memproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia, menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan, menyulap halusinasi, ilusi, imajinasi, dan fantasi menjadi kenyataan, hingga menekuk realitas ke dalam sebuah layar datar televisi dan disket.

Hiperealitas seperti media massa, disneyland, shopping mall, televisi, dan internet—dalam pendakuan Baudrillard—nampak  lebih real dari pada kenyataan sesungguhnya, di mana model, kode, dan citra hiperealitas bermetamorfosis sebagai pengontrol pikiran dan penculik kesadaran manusia. Bagi Baudillard, realitas buatan, di titik ini, telah kehilangan asal-usul, referensi faktual, atau pun kedalaman makna.

Disneyland umpamanya, merupakan realitas citraan baru yang lebih real dari realitas sebenarnya. Sebagai  konsekuensinya realitas nyata kian kehilangan pesona dan daya tarik, bahkan sebaliknya dipandang bukan-ralitas. Sementara itu, di tengah gemuruh haus-belanja sebagai ciri masyarakat kontemporer, shoping mall justeru hadir sebagai pusat grafitasi baru aktivias masyarakat konsumen. 

Tapi lebih dari sekadar tempat belanja, shoping mall juga merupakan dunia simulasi yang memproduksi realitas-realitas buatan yang bersifat semu, namun di dalam kesemuannya itu justru menyodorkan suasana menyenangkan ketimbang realitas sebenarnya. Dalam shoping mall, segala sesuatu telah direduksi, dimanipulasi, dan disimulasi demi kesenangan dan kenyamanan berbelanja. Elemen-elemen lain dalam shoping mall semisal restoran, toko buku, tempat spa, salon, studio foto, semuanya dikemas dalam tema-tema eksklusif, lux, kosmopolit, dan berkelas, tapi menyodorkan makna-dangkal.

Dalam bukunya, Sebuah Dunia yang Dilipat (1998), Amir Piliang meluskiskan jika fenomena hiperialitas diikuti serangkain fenomena lain seperti, hypercare (perwatan wajah dengan aneka kosmetika yang menggoda), hypercommodity (merebaknya komuditas di hampir seluruh ruas kehidupan), hyperconsumption (kerakusan konsumsi tanpa seleksi), hypermarket (pasar sebagai pusat kesadaran, tanda, dan identitas baru), hypersensibility (ikhtiar berlebihan mencapai kepuasaan inderawi), hypersexuality (pengumbaran kepuasan sex-gila, seperti gejala “GLBT” yang merebak akhir-akhir ini), dan hyperspace (runtuhnya makna ruang menyusul berkembangnya ruang-semu di dunia cyber), dan seterusnya.

 Demikianlah, sosok hiperialitas seperti boneka Barbie, Rambo, Spiderman, Doraemon, Jurrasic Park, Batman, Robinhood, dan James Bond,  karena itu, tidak hanya hadir sebagai jagat kode yang merayakan kematian realitas, namun nampak lebih karib dan nyata ketimbang tetangga kita sendiri!



EmoticonEmoticon