Oleh : Saifuddin Al Mughniy
Dialog akan menjadi penting,
Bila yang di dialogkan itu hal yang penting,
Bukan penting tanpa dialog, namun segala
Yang di dialogkan itu pasti penting.
Suatu ketika Ziaul Haq (alm) Presiden Pakistamdi tahun
1978-1989 megumpulkan para wartawan untuk berdialog dan makan siang. Disela
dialog itu, Ziaul Haq bertanya kepada Nizamai pinpinan redaksi koran the
nation, Nizami, menurut anda siapa yang membangun dan mendirikan negara ? tanya
sang presiden. Nizami agak lama berfikir untuk memahami logika Ziaul Haq, dan
lalu menjawab, “ Politisi “
Sang presiden pun tersenyum mendengar jawaban Nizami, lalu
ia berkata, “ternyata wartawan sekelas anda masih berfikir sependek itu “ dan
orang akan mengira akan membaggakan dirinya. Lalu sang presiden membuka
persepsinya, sebenarnya kalian harus
pahami bahwa yang membangun dan mendirikan negara itu bukanlah politisi tetapi
para kaum intelektual. Demikian seterusnya sang presiden melanjutkan wacananya
seputar itu.
Ziaul Haq berfikir induktif, di negerinya inspirator
kemerdekaan bukan politisi. Pakistan merdeka dari India berkat inspirasi dari
tokoh Mohammad Iqbal, dan selain u terdapat nama seperti Abul Ala Al Maududdi,
Amir Ali, Sir Syed Ahmad Khan, mereka iu adalah tokoh inspirator dari kalangan
intelektual. Bahkan India merdeka dari Inggris karena inspiratornya sekelas
Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore,
Jawahallal Nehru, dan sang presiden begitu terkagum dengan sosok pendiri
negara yang berasal dari kaum sederhana tapi intelektual.
Bagaimana dengan konteks Indonesia, ? dialog itu elah
berlangsung sekian puluh tahun lamanya, dan para founding fathers membangun
negara ini tanpa dendam, tanpa sentimen, tanpa penghinaan, namun penuh
penghormatan.tanpa dendam telah di buktikan anatara Soekarno dengan Buya Hamka
walau keduanya memiliki visi politik dan kenegaraan, dan lebih ironis lagi
ketika Buya Hamka di jebloskan di penjara oleh Soekarno, tetapi disaat yang
lain Soekarno meminta kepada Buya Hamka kalau suatu saat nanti aku (Soekarno)
meninggal dunia maka engkau (Buya Hamka) menjadi imam sholat jenzahku.
Dan itu
dipenuhi oleh Buya Hamka. Bagaimana sepran Muh. Natsir mantan perdana menteri
Indonesia, hanya memiliki sepeda untuk mengabdikan dirinya dalam sebuah negara,
bahkan suatu ketika pimpinan partai katholik ingin membelikan rumah buatnya
namun tetap menolak. Konsep kesederhanaan yang dibangun karena mereka ulama
sekaligus intelektual, tidak menjarah, memfitnah, saling menyiku seperti saat
ini.
Dan kita bisa sepakat bahwa HOS Cokroaminoto sebagai
inspiratif Soekarno danpemimpin gerakan kebangaan ang berlandaskan Islam, Dr.
Wahidin Sudiro Husodo pencetus gerakan Budi Utomo, Agus Salim yang digelari
Soekarno Ulama –intelek, dan aktor intelektual bagi gerakan kemerdekaan KH.
Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Ki HajarDewantoro, Muh. Natsir dan beberapa
tokoh lainnya. Mereka itu adalah intelektual yang politisi sekaligus politisi
yang intelektual, bahkan Soekarno Hatta pun sebenarnya adalah intelektual. Dan
berkaca dari it maka kita bisa sajabersepakatdengan sang presiden ( Ziaul Haq
), bahwa Indoensia jga tidak didirikan oleh kaum politisi tetapi kaum
intelektual yang bervisi politik.
Gordon S. Mood misalnya dalam bukunya, the ppublic
intelectual menganggap the founding fathers sebagai men of ideas and thought,
leading intelectual sekaligus political leaders. Tetapi sejatinya mereka itu
secara revolusioner bukan politisi an sich atau intelektual murni sperti
pengertian dalam kerangka modern yang parsial. Mereka itu adalah pemimoin
politik yang tidak terobsesi oleh sebuah pemilu, karena baginya pemilu tak
lebih hanya sebuah proses bukan pilihan.
Mereka hidup dalam dunia ide dan realitas dimana dunia politik tidak
menghadirkannya untuk bertindak utopis dan pragmatis.
Buktinya sekarang justru berbanding terbalik, politisi di
puja, disanjung, dihormati, bak putera sang raja yang baru saja naik tahta,
mereka memuji tapi tidak bisa mengikuti, bahkan petuah mereka di guguh namun integritas
mereka tak dapat di tiru.
Bahkan secara tegas Gordon mengkritik situasi demikian,
bahwa saat ini kita lebih banyak memuji ketimbang memahami, mengapa generasi
ama revolusi begitu care terhadap perubahan sementara hari ini tidak, mengapa
idealisme dan politik tidak dapat bersatu, mengapa politis dianggap sebagai
amal yang lepas dari ilmu, retorika yang tanpa logika, mengapa politik
membangun kekuasaan, bukan perdaban, padahal kekuasaan hanyalah tahta yang
tidak berarti tanpa ilmu.
Bahkan Samuel Elliot Morrison dan Harold Laski yang keduanya sejarawan
Amerika, percaya bahwa dalam sejarah modern , tidak ada yang kaya dengan
ide-ide politik yang memberi kontribusi pemikiran terhadap
kehidupan politik dan sosial, termasuk di dunia barat sekalipun. Karena di lain
sisi Gordon melihat bahwa saat ini kualitas intelektual para politisi menurun
secara drastis. Ide telah telah di pisahkan dari kekuasaan, dan itu harus
dibayar mahal oleh sistem demokrasi.
Kalau Gordon beragama maka
ia akan mengatakan demikian bahwa itu harus dibayar mahal sekulerisme.
Agam “mesti tidak bisa” menjadi bekal berpolitik. Dengan satu prinsip bahwa
jangan bawa agama dalam ranah politik, sekalipun hampir semua anggota parlemen
memiliki agama sekalipun ia berbeda tetapi sangat jarang kita temukan konsep
agama menjadi pencair dari sebuah proses politik, ya itu tadi karena agama
telah terseret jauh dari jantung kekuasaan. Kekuasaan yang terlanjur tanpa
ilmuakan berujung kepada kegaduhan yang terus menerus sebab sebagian mereka telahdi
perbudak oleh harta dan kekuasaan itu sendiri tanpa harus membangun sebuah
peradaban kebangsaan yang bermartabat.
Persoalannya sekarang adalah, bahwa dialog serta pelajaran
yang bisa kita petik dari setiap sesi perbincangan sang presiden kita justru menjadi
cemooh oleh lawan politiknya sehingga menurut saya memang sangat sulit untuk
membangun sebuah peradaban karena mitologi kekuasaan itu seperti sudah harga
mati.
Bahkan dalam sejarah perdaban Islam kita kenal Khlaifah Umar
Bin Abdul Aziz seorang amirul mukminin yang oleh Ad-Dhahabi menyebutnya sebagai
amir yang berilmu, yang mampu membangun kekuatan ekonomi Islam, tetapi bukan
hanya itu beliau juga mampu mmembangun politik dan peradaban. Sehingga kita
memang perlu banyak belajar untuk mengilhamkan diri pada karakter dan
kepemimpinan politik di masa lalu. * semoga***
Hari ini, jangan paksa kami kerja dan kerja,
Sebab kami memilih belajar untuk bekerja.
(saifuddin al mughniy, di teras Aufklarung)
EmoticonEmoticon