Saturday 28 January 2017

Proposal Pelatihan Menulis Tempo 2017

Sumpah Pemuda




Oleh: Ruslan 
Direktur Rumah Tulis

28 Oktober genap 88 tahun lamanya setelah pemuda dari berbagai Daerah telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Mereka terdiri dari anak-anak muda, seperti tunas kelapa tumbuh perlahan tapi pasti, membesar menjadi sebatang pohon yang kuat dari terpaan angin dan musim penghujan. Anak-anak muda tumbuh subur dari pengalaman dan dinamika gerakan kemahasiswaan, aktivisme mereka sedang menggebu-gebu mencari hulu keadilan. Tak dapat disangkal bahwa keadilan merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehilangan keadilan rasanya seperti hidup dengan ibu tiri, dicampakkan dan dipinggirkan. Betapa asingnya hidup bila keadilan sudah tidak berpihak, lantaran kekuasaan telah mengamputasi keadilan yang seharusnya merata kepada seluruh warga Negara (civil society).

Bicara tentang sumpah pemuda, maka memori kita akan kembali pada masa lampau, di mana semangat nasionalisme sedang dalam keadaan puncak kejayaan. Mereka mengorganisir warga masyarakat untuk mengabarkan betapa jahatnya kolonial belanda yang telah lama bercokol di tahan air ibu pertiwi. Tak hanya saja pembantaian dan pengerukkan hasil bumi yang dipertontonkan melainkan harkat dan martabat bangsa Indonensia ikut tergerus menjadi kepingan-kepingan serpihan kaca, hancur lebur bersamaan dengan buih yang ditelan angin. Nasionalisme tidak tumbuh begitu saja, tanpa melewati rentetan peristiwa panjang sejarah bangsa. Sejarah di mana sebagian besar bangsa Indonesia ikut menderita lantaran penjajahan tidak memberikan ruang adanya kebebasan.

Sumpah pemuda menjadi suatu catatan sejarah yang amat penting untuk dibuka kembali, diresapi dan dihayati sebagai sebuah refleksi mendalam terhadap perjalanan bangsa. Kita tidak boleh membiarkan catatan sejarah ini sekadar seperti arsip-arsip file yang tersimpan rapi di museum sejarah, melainkan kita harus membuka kembali catatan sumpah pemuda untuk dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran yang amat penting bagi keberlangsungan hidup kedepannya. Dalam sebuah gubahan yang menjelaskan bagi siapa saja yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah maka ia bisa dipastikan akan mengulangi kembali sejarah tersebut. Sejarah menjadi suatu yang amat penting untuk dibaca kembali, sehingga kita dapat menentukan langkah kedepan yang lebih baik.

Dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda, lembaga kemahasiswaan dan lembaga pemerintahan lainnya turut terlibat untuk memperingati kesaktian sumpah para anak muda di kala itu. Mereka mengambil bagian dengan melakukan berbagai macam cara, ada yang memperingati hari besar ini dengan melakukan upacara seremonial hingga aksi unjuk rasa diberbagai daerah.
Tak ketinggalan di Makassar sebagian besar mahasiswa ramai-ramai turun kejalan untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai upaya memperingati hari sumpah pemuda.

Friday 24 June 2016

Wacana dan Kulturalisme


Oleh : saifuddin almughniy
OGIE Institute Research and Political Development
**

Artikel ini tentu sangat jauh berbeda dengan t-tema sebelumnya yang lebih enjoy dan sangat politis karena dasar pengamatannya di lihat dari realitas keseharian atas kegaduhan diarena panggung politik. Sekedar tulisan ini membawa kita ke sebuah tata kajian yang lebih progresif dan edukatif dengan analisis yang sedikit filosofis. Sekalipun memang hampir setiap perkara hidup menusia tak lepas dari dinamika yang mempengaruhinya. Diskursus atau yang lebih dikenal dengan wacana begitu banyak membantu dalam perkembangan kehidupan sosial. Bahkan sebagian orang hidupnya tak lepas dari perwacanaan, apakah itu karena ia membaca, mendengar atau menulis.

Wacana bukanlah barang sesembahan seperti batu, pohon, kepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi ia tak lebih dari suatu persentuhan makna-makna. Menyembah berhala wacana merupakan caraterbaik untuk bunuh diri. Hal ini kita bisa pertanyakan kepada Thomas Khun yang meluncurkan karya fenomenalnya ditahun 1962, The strucure og scientific Revolution.

Melalui tesis ini Khun menghajar positivisme yang sangat memberhalakan “kebenaran tunggal” (singel truth), pandangan ini di dasari bahwa semua menusia hanya sanggup menciptakan paradigma kebenaran bukan wajah kebenaran itu sendiri, Hanya bisa meraih fakta tetapi bukan realiitas. Thomas Khun yang mengibarkan konsep paradigma menjadi pisau antitesis paling tajam untuk menusuk pengetahuan “kebenaran obyektif” atau “wacana obyektif” atau kepada kaum positivis.

Sesungguhnya kebenaran obyektif itu tidak pernah ada yang ada hanyalah paradigma atau lebih dikenal dengan sebutan konsep wacana.  Sebab wacana tak lebih dari sebuah kesepakatan paham dalam sebuah komunitas masyarakat. Bahkan Karl Popper dan Ian G. Barbour juga menolak pemberhalaan kebenaran obyektif yang serba tunggal. Sebuah kritik yang menampar wajah “kebenaran obyektif” sebagai dasar kebenaran tunggal.

Oleh sebab itu, bila gagasan filosofis ini ditarik kedalam kerangka khazanah ke Indonesiaan, maka bisa disimak kontribusi Khun demikian besar. Salah satu ampak serius pemberhalaan wacana ditengah pluralisme ialah lahirnya sikap” under estimate, inferior dan negasi.orang yang berbeda dengan kelompok wacaa terentu  rentan diintimidasi sebagai”orang lain” yang absurd, sesat dan bermasalah.

Begitu pula dampak dari negasi  posistivisme yang berkecendrungan kafir-mengkafirkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Watak negasi ini sringkali muncul ditengah kelompok seagama yang sringkali menjustifikasi bahwa kelompok lain kafir dan sesat, bahkan lebih nyaris hadir dalam deru kaum beragama yang sangat primitif dengan efek mulai dari kekerasan imani sampai kepada kekerasan fisik.

Betapa negasi positivisme ini telah menghardik sebuah keyakinan beragama dengan menolak kelompok yang lainnya, misalkan ajaran Ahmadiyah, Lia Eden, Syi’ah dan golongan kepercayaan lainnya. Dan kalau ini ditarik dari tafsir ideologi maka sesungguhnya sudah melakukan pelanggaran, sebab terjadi intimidasi, ketidakbebasan, kemerdekaan, serta keyakinan menjalankan syariat agama sesuai kepercayaan dan keyakinan secara praksis runtuh dalam debut negasi positivisme ini.

Kemudian kalau halini ditarik dalam ranah kehidupan politik Indonesia sikap negasi positivis ini nampak kelihatan jelas dengan menyaksikan fragmentasi yang dimainkan, dengan gaya sikut menyikut, saling fitnah, saling mnjatuhkan satu sama lain, mereka ingin memenangkan wacana obyektifnya dimana orang lain dipaksa untuk meyakini konsep pemberhalaan wacana yang dia inginkan. Padahal, republik ini menganut paham demokrasi konstitusional Pancasila yang begitu menghormati dan menghargai konsep TRIAS POLITIKA.

Bahkan contoh-contoh nyata dalam kehidupan politik kita, dipertontonkan bagaimana problem bangsa ini dipantik oleh tradisi berfikir positivistik yang seringkali memberhalakan wacana (discourse). Tentu masalah seperti korupsi, berbelitnya birokrasi, pencitraan politik, black campaign, suap menyuap, mafia hukum buan berarti tidak terlalu penting dibandingkan dengan perkara Paradigmatik,sebab semua masalah itu adalah grand problems yang sepatutnya kita soroti, di analisis, dan dipikirkan secara bersama. Tetapi perkara paradigmatik harus di dorong dalam rangka menemukan esensi dari sebuah permasalahan yang dihadapi.

Mungkin sebagian kita akan melakukan gugatan terhadap statement Khun itu, bukankah kita menganggap benar sebuah wacana, lalu menganutnya sebagai prinsip hidup, merupakan hukum alam “ ke-eksistensi-an manusia” . Memang sepatutnya manusia hidup dalam suatu pemahaman ideologi yang diyakininya baik itu secara Teologis maupun antropologis.

Bahkan sejalan dengan itu Socrates mengungkapkan “ Hidup yang tidak direnungkan, sungguh bukanlah hidup yang layak dihuni” hal ini dapat kita petik satu himah dari pesan bijak tersebut bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan, kemuliaan dan kebaikan hidup maka manusia selayaknya harus berhenti sejenak untuk melakukan perenungan demi melanjutkan kehidupannya kearah yang lebih baik. Inilah makna-makna secara simbolik untuk dijadikan kunci tanpa harus menafikkan pesan-pesan sosial lainnya. 

Dan harus dipahami bahwa ada perbedaan yang paling mendasar untuk melihat demarkasi antara epistemologis (knowledge) dan aksiologis (perilaku) dalam memantik sebuah kesadaran kebenaran wacana sebagai sesuatu yang diyakini dalam problem hidup manusia. Ini nyaris ternafikkan mengingat kerasnya paham positivisme ke ranah dunia akademik dan keilmuan manusia. 

Bukan tidak mungkin kesadaran ini akan membawa manusia untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Positivisme yang digagas dalam kerangka pengetahuan manusia justru terjebak pada fragmentasi negasi yang telah meniadakan nilai etika sosial, manhaj sosial, pranata sosial yang selama ini dianggap sebagai aturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan antar masyarakat.

Pemberhalaan wacana pada akhirnya akan menggiring manusia pada etape “menghardik eksistensi kebenaran” sebab berhala ini akan memaksa seseorang untuk memilih jalan hidup yang bertentangan dengan si pemberhala. Maka wacana yang diharapkan adalah wacana yang dapat menjadi pembanding sekaligus penyeimbang nilai sosial agar tidak terjebak pada sikap intimidasi atas kebenaran yang ada. Paling tidak wacana yang terangkat minimal dapat memberikan pengaruh terhadap filterisasi atas realitas yang ada, sehingga masyarakat lebih paham atas segala problematika sosial yang ada disekitarnya.
**Insya Allah**

Hibridasi, Glokalisasi, dan Pertukaran Identitas

Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen di UIN Alauddin Makassar
***
Citra modernitas adalah citra geometris. Satu babak kemanusiaan yang mengandaikan hidup sebagai yang benderang, lurus, dan jelas. Sembari bertumpu pada nalar Cartesian, manusia modern menangkap dunia dengan kukuh: Aku adalah tahu. Tapi di situlah letak soalnya, ketika subyek “aku-yang-tahu” didaulat di atas tubuh dan sejarah yang guyah.

Dalam Cultural Studies, ide  tentang “aku” memiliki paras ganda: “subyek” dan “identitas”: Jika yang pertama mengandaikan aku yang stabil, kodrati, permanen, dan otentik maka yang terakhir lebih menunjuk pada aku yang labil, guyah, konstruksi, dan genting.

Kehadiran globalisasi membawa hidup yang riuh, gemuruh, serba-cepat, tapi juga menyisakan sepi. Globalisasi, sebab itu, lebih menyediakan sebilah tempat lapang bagi “konstruksi” identitas: pertukaran benda-benda, persilangan aneka lambang, pergerakan antar ruang-waktu yang demikian cepat akibat teknologi komunikasi dan terbitnya budaya cyber. Akibatnya,  persilangan dan perjumpaan kebudayaan menjadi sesuatu yang enteng.

Pieterse (1995) mendaku, dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal. Kebudayaan dan identitas tidak lagi memadai jika dipahami dalam term “tempat” (place), tetapi lebih dikonseptualisasikan sebagai “perjalanan” (travelers): sesuatu yang mengalir dari satu tempat ke tempat lain. Di titik ini, kebudayaan dan identitas selalu merupakan perjumpaan dan persilangan aneka kebudayan dan identitas. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan disamarkan dan dibuat labil oleh hibridasi.

Dalam subkultur anak muda kita, hibriditas tampak sebagai hasil “internasionalisasi”: anak-anak Indonesia dalam hal makanan saja misalnya, telah mengalami apa yang oleh George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (1993) disebut “McDonalisasi”. Mereka menjelma menjadi generasi Coca-cola, MTV, KFC dan Hard Rock Café  dan menjadi bagian dari gaya hidup dan “identitas” baru mereka.

Homi Bhabha (1994) menyebut gejala tersebut sebagai mimikri, yakni proses “peniruan” sejumlah elemen kebudayaan liyan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan absolut, tetapi peniru bermain di kancah dan menikmati ambivalensi yang tengah berlangsung dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri—dalam pendakuan Bhabha—selalu  mengandaikan makna yang “anomalis”, ia imitasi tapi juga subversi. Di sini, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghalau dominasi. Seperti topeng: ia bersifat ambivalen, mengawetkan tetapi juga menegasikan dominasinya. Inilah fondasi sebuah identitas hibrida.

 Sejak ide globalisasi menggelinding di meja redaksi jurnal-jurnal bisnis internasional pada  dekade awal 1970-an, praktik ekonomi mondial berlangsung dengan pengaruh cukup kuat terhadap lahirnya apa yang dalam cultural studies dikenal sebagai budaya pop dan life style. Di titik ini, globalisasi kemudian punya saudara kembar yang tak kalah kemilaunya, glokalisasi.

 Glokalisasi  juga sebentuk hibridasi yang melakukan adaptasi produk global dengan karakter yang bercita rasa pasar lokal. Glokalisasi, sebab itu,  boleh dibilang strategi dan juga kritik terhadap konsep perdagangan bebas neolib, yang tidak lagi mengandaikan spesialisasi produk khas yang dimiliki sebuah negara. Karena itu para produsen mengondisikan sedemikian rupa agar sebuah negara sebagai target pasar, berada dalam satu aras sosio-kultural yang sama dengan negara asal sebuah produk. Glokalisasi, misalnya, benderang ketika KFC—dalam membangun cita selera pasar lokal—mengontrak sejumlah artis papan atas setempat seperti Agnes Monica, Wulan Jamila, Baby Romeo, Ungu dan seterusnya, sebagai bintang iklan untuk “menghipnotis” pasarnya di Indonesia.

Cultural studies meletakkan glokalisasi sebagai gejala adaptasi produk-produk global dalam paras lokal yang dilakukan masyarakat dalam anyaman budaya hibrid.  Adaptasi, interpretasi, dan mimikri masyarakat lokal itu pada urutannya menggelontorkan kemungkinan adanya pergesaran—jika bukannya pendistorsian—makna  atas nilai budaya dari satu tempat tertentu. Sebutlah misalnya, bagaimana celana jeans yang dipakai kelas pekerja dan cowboy di Amerika atau Eropa, di Indonesia justru hadir sebagai  fashion elite dan eksklusif. Ini menunjukkan, terdapat interpretasi atau “kosmos” yang berbeda antara masyarakar Indonesia dan Amerika dalam hal pakaian.

Slogan logosentrisme, return of the text meletakkan bahasa sebagai medium dalam proses glokalisasi.  Bahasa mampu menganyam emosi hingga produk global terasa lokal. Kesetiaan pemirsa Indonesia terpaku berjam-jam di hadapan televisi ketika menyaksikan tayangan sinteron-sinetron India melalui proses dubbing, bukannya jejak apresiasi mereka terhadap kebudayaan India, tapi lebih karena sebagian besar plot cerita yang disuguhkan, mengolah konflik keseharian manusia, dari cinta, kesetiaan, penghianatan, perebutan warisan, perselingkuhan, hingga perebutan kuasa.

Melalui bahasa, glokalisasi juga menerpa jagad politik-demokrasi di tanah air ketika, “Mama, minta pulsa” dan “Papa, minta saham” menjadi pergunjingan publik dan menyeret Ketua DPR RI Setya Novanto menjadi “pesakitan” di MKD.

Gejala hibridasi identitas, juga glokalisasi, kini tengah menggelombang, merasuk, dan menginvasi kehidupan jamak kita. Akibatnya, “subyek”, sang aku-otentik kian samar, pucat, dan sunyi di titik tepi

Thursday 23 June 2016

Negara-Bangsa, Arendt, dan “Res Publica”



 Oleh: Mohd. Sabri AR
 
Ide atau gagasan ibarat sebilah puisi—ia hadir menyapa kita mula-mula lewat nadanya. Tapi Hannah Arendt, tidak hanya hadir sebagai nada namun juga pesona dalam galaksi pemikiran filsafat politik. Bagi Arendt, politik tak cukup sebagai gagasan, ideologi, atau pun teknik, tapi sebuah “tindakan”.

Sebagai pemuka pemikir politik, Arendt tak sedikit mendapat pengaruh dari penalaran Aristoteles, juga napas fenomenoligik-eksistensial Jaspers dan Heidegger. Di fajar abad ke-20 kita menyaksikan kehadiran sederetan pemikir yang menghiasi horizon politik, sebutlah: Raymond Aron, Eric Voegelin, Leo Strauss, Carl Schmitt, dan seterusnya yang seluruhnya laki-laki. Arendtlah, salah satu filsuf perempuan berpengaruh yang lahir di kalangan mereka.

 Arendt secara eksplisit membedakan tiga jenis hirarki kegiatan manusia dalam kehidupan: kerja, karya, dan tindakan yang disebutnya Vita Activa. Jika yang pertama lebih pada pemenuhan kebutuhan bilogisnya, kedua adaptasi-cipta manusia terhadap semesta, yang terakhir lebih pada kemampuannya mengungkapkan diri dalam kehidupan publik.

Tindakan—demikian  pendakuan Arendt—membutuhkan  keberadaan ruang publik, di atas mana kehadiran akan ýang lain’ mutlak dibutuhkan. Dengan ungkapan lain, tindakan membentuk ruang publik, sebaliknya ruang publik memungkinkan manusia untuk ‘bertindak’.

Sejatinya konsep ini diadopsi Arendt dari sistem "polis" Yunani-Antik di mana kehidupan publik menempati hirarki terpuncak. Polis membentuk manusia sebagai bios politikos dengan “tindakan” (praxis) dan pengungkapan diri lewat komunikasi intersubyektif (lexis) sebagai ciri pokoknya. Arendt juga mengandaikan, pembentukan ruang publik meniscayakan ruang privat yang tanpanya kehidupan bersama yang jamak dan kemampuan manusia untuk ‘bertindak’, mustahil tercipta. Di titik ini, Arendt menyebut ruang privat sebagai ‘yang sosial’ dan membedakannya dengan ruang publik sebagai ‘yang politis’.

Maka searah dengan pikiran Arendt, polis dalam masyarakat Yunani-Antik, atau res publica dalam masyarakat Romawi-Kuna—terutama  berfungsi menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan dalam kehidupan individualistik. Dengan begitu, polis atau res publica (“republik” dalam pengertian Arendt) merupakan benteng terakhir manusia dari berbagai isolasi dan alienasi  yang mengepung hidupnya.

Res publica (‘yang publik’), bagi Arendt, adalah bentuk ideal dari suatu negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu kesatuan politis yang menjamin keberadaan ruang publik. Negara-bangsa sebagai “republik” dengan demikian mutlak menciptakan dan merawat kehidupan yang aneka.  Dalam res publica, kemampuan manusia untuk ‘bertindak’ dijamin, dan tidak terkooptasi manusia lainnya. Pada konteks inilah negara-bangsa sebagai res publica bisa berperan membantu menciptakan suatu identitas tertentu dalam kemampuannya melakukan suatu tindakan, khususnya ‘tindakan’ politik.

Namun, pesimisme Arendt terhadap negara-bangsa terbit menyusul gemuruh kehidupan dunia modern yang mengguncang. Bagi Arendt, dunia modern menyebabkan manusia tercerabut dari diri otentiknya, sesamanya, maupun dunia di mana ia tinggal. Hal ini pertama-tama ditandai dengan kehilangan kemampuan manusia untuk menghadirkan dirinya di ruang publik, di saat yang sama ruang publik tersebut kian memudar dari kehidupan manusia.
Selain itu, res publica—yang sedianya dimaksudkan mengurai aneka kepentingan di antara anggota komunitas—secara masif kehilangan fungsi politisnya. Akibatnya, ruang privat (‘yang sosial’) yang mendominasi kehidupan secara keseluruhan. Terjadi privatisasi dalam segala dimensi kehidupan publik, yang pada urutannya meluncur ke dalam suatu kehidupan layaknya sebuah sistem kekeluargaan dan kekerabatan. Bagi Arendt, keadaan itu menjelmakan sistem yang sifatnya non-politis atau bahkan anti-politis. Dan di titik ini, sebuah negara-bangsa mengalami kerapuhan.

Dengan tidak mampunya negara-bangsa memainkan peran sebagai pembentuk ruang publik yang memungkinkan manusia melakukan tindakan politis, maka negara-bangsa tak lebih dari ruang privat yang diperluas atau rumahtangga dalam skala besar. Inilah yang oleh Arendt disebut sebagai "oikia.".

Oikia, yang telah menihilkan ruang publik, pada urutannya melahirkan “negara-keluarga” “kekuasaan-dinasti” atau “negeri-kaum bos”. Negara tak ubahnya rumah tangga raksasa. Di dalamnya negara memainkan perannya yang tunggal dan pantang diusik seperti layaknya kepala keluarga. Negara menjadi episentrum: untuk, di dalam, dan demi kepentingan negara. Di titik inilah totalitarianisme, komunisme, dan nazisme berakar. Negara-bangsa yang mengandaikan oikia sebagai kiblatnya memosisikan kedaulatan negara sebagai satu-satunya alat kekuasaan.

Dengan mengatasnamakan hukum, nasionalisme, patriotisme, heroisme, solidaritisme dan seterusnya, bentuk oikia seperti ini jelas sangat potensial untuk melakukan depolitisasi dan dehumanisasi terhadap anggota komunitasnya. Mereka tak lebih sebagai sehimpunan, tanpa otentisitas yang digunakan sebagai pengawet kekuasaan. Dengan demikian, oikia adalah sikap yang mereduksi kemampuan krisitis individu untuk ‘bertindak’ di ruang publik.

Mengacu pada pandangan ini bisa dimengerti, sejak awal terbentuknya negara-bangsa, lembaga ini tidak memiliki fondasi yang kukuh pada dirinya sendiri. Negara-bangsa tidak lahir dari kemampuan manusia untuk ‘bertindak’ tapi lebih merupakan ‘karya besar’ dari para ‘negarawan’ perintisnya. Lalu, dapatkah negara-bangsa dipertahankan hingga titik darah terakhir ketika ia tidak lagi setia merengkuh penderitaan rakyatnya?

Batu "Ntanda Rahi" Sebuah Cerita Rakyat



Oleh: Suradin S,S
Mahasiswa Pasca Sarjana UNM
Tahun 2008 silam, Himpunan mahasiswa Jurusan Ilmu sejarah Universitas Hasanuddin Makassar, melakukan penelitian objek kajian sejarah (POKSA) di Bima. Kegiatan ini dengan mengusung tema menelusuri hubungan kerajaan Bima dan Makassar. Adapun salah satu aitem kegiatannya yakni seminar di ASI Bima. Dalam seminar ini dihadiri oleh banyak peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, pejabat setempat maupun organisasi kepemudaan di kota Bima dan sekitarnya. 

Adapun yang menjadi pemateri pada seminar tersebut yakni Ibu Siti Maryam Salahuddin (Budayawan Bima), M. Hilir Ismail (Sejarawan Bima) dan Dr. Bambang Sulistyo (Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Unhas). Penulis sendiri mendapat kesempatan menjadi moderator pada seminar tersebut. Pada kesempatan tersebut, Bambang Sulistyo mengungkap makna dan maksud cerita rakyat Bima Dompu  tentang Wadu Ntanda Rahi. Menurutnya, Wadu Ntanda Rahi merupakan simbolisasi dari semangat merantau orang Bima Dompu untuk menjelajahi negeri seberang. Semangat merantau ini dapat dilihat dua hal yakni mencari nafkah dan menuntut ilmu di negeri orang. 

Semangat ini masih dapat dilihat dalam konteks kekenian, dimana orang Bima Dompu yang menyambangi Malaysia dan Kalimantan hanya untuk mencari rezeki yang lebih, yang mungkin sedikit peluang untuk didapatkan di kampung halaman. Hal serupa seakan sejalan dengan pemuda dan pemudi dikedua kabupaten ini, kota sekaliber Makassar dan Mataram, tidak cukup sulit menemukan mereka yang menimba ilmu di kedua kota tersebut.

Angin laut langsung menyapaku tanpa diminta. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat jelas sebuah batu yang sedikit meninggi dari yang lain menghadap ke laut di ujung sana. Wadu Ntanda Rahi begitulah orang mengenalnya. Sebuah batu yang memiliki cerita yang masih hidup hingga kini, dan terekam jelas dalam memori kolektif masyarakat setempat. Sebuah cerita, bahwa di masa lalu ada seorang istri bersama anaknya yang berdiri di tepi pantai sambil memadang suaminya yang sedang pergi berlayar. Namun, karena kelamaan berdiri dan merasa sedih ditinggal pergi oleh suaminya, kemudian tiba-tiba ombak menghempasnya kemudian jadilah ia menjadi batu bersama anaknya. 

Sepintas lalu, jika diamati batu ini tidak benar-benar seperti manusia. Bahkan tidak jauh berbeda dengan batu-batu di sekelilingnya. Hanya saja yang membedakannya yakni dia agak lebih tinggi dari pada yang lain. Sehingga biar dari kejauhan, orang dapat melihatnya walaupun air laut sedang tak surut. 

Cerita Wadu Ntanda Rahi adalah merupakan salah satu cerita rakyat Kecamatan Hu’u yang masih hidup hingga kini. Walaupun cerita ini belum banyak yang mengetahui apa makna dan maksud dari cerita ini sesungguhnya. Atau mungkin orang tidak menganggap penting apa sesungguhnya yang ingin jelaskan dari cerita tersebut. 

Angin laut masih setia menyapa dan menemaniku di sore ini. Lalu lalang kendaraan yang melintas tak sedikitpun aku terusik. Suasana yang begitu bersahabat sembari menyaksikan sunset nan indah di ufuk timur. Perahu nelayan yang bersemi di tepi pantai menambah suasana sore ini menjadi tambah bermakna. Aku bersyukur masih bisa tinggal di sebuah kampung yang memiliki laut yang biru, gunung yang hijau serta sawah yang nan indah.

Kamu Lebih di Sayang Ibu


Oleh: Asri Lan
 Anggota Komunitas Menulis

Ketika dulu cuma ada aku sebagai bungsu dikeluarga kecil kita, semua adalah milikku, kasih sayang ibu dan singgasana dipangkuan Ayah. Cinta mereka diluar batas logikaku. bahkan aku tidak mengenal jarak.
Setelah kamu hadir, seakan duniaku hilang. disatu sisi aku tersenyum tapi disudut kamar aku menangis. Bukan karena aku tidak menerima kehadiranmu, hanya saja aku tak tau cara mengekspresikan perasaanku kala itu. Yang kutau kehadiranmu mengambil duniaku, merampas singgasanaku dan membagi cinta Ayah dan ibu.

Adikku..
Ketikat kita beranjak remaja, sekarang aku mengerti arti kehadiranmu. aku tidak perlu mencari sahabat untuk menjadi teman ngobrol atau teman curhat, Karena sahabatku cuma kamu. Bersahabat denganmu aku tidak akan pernah merasakan ditusuk dari belakang, pagar makan tanaman, atau si*anida yang lagi hangat diperbincangkan sekarang, karena tidak kuragukan ketulusanmu terhadapku. Ketika kau menyakitiku sama saja engkau menyakiti perasaan ibu kita. Akupun begitu.

Walau terkadang sering aku membentakmu, itu tidak berarti aku membencimu dan kamu adalah lawanku. Tidak! Pertengkaran itu hal yang wajar, kita hanya dilahirkan dirahim yang sama, tapi tidak untuk pemikiran dan perasaan yang sama. Aku begini dan kamu begitu. Kita bersaudara, tapi tidak harus kamu menjadi aku. Namun perselisihan tidak menghapus kasih sayang diantara kita.

Satu hal yang harus kamu tau adikku, aku tidak pernah dendam ketika khilafmu tak menghargai umurku. Aku tak berharap dipanggil “kakak” sebagai bentuk penghormatan seperti kakak kebanyakan orang. Kamu selalu ada, itu sudah cukup. Kamu ada, berarti aku tidak sendiri dan duniaku tidak berkisah tentang diriku saja.

Kamu ada itu berarti aku punya tempat mengadu ketika semua orang mengabaikanku, pun menjadi pendengar akan ceritaku. Walau ceritaku berkisah tentang itu itu saja, tentang si melon rasa mentimun dan juga tidak kalah seringnya tentang kesetiaan embun yang menemani pagi. karena kehadiran matahari, kesejukan itu hilang dibawa angin. Bagi orang lain itu hal biasa, tapi aku kagum dengan kesetiaan embun yang tidak pernah jera.