
Oleh:
Suradin
Mahasiswa
Pasca Sarjana UNM
Waktu menunjukan pukul 09:30 Wita,
dimana pagi yang cukup cerah telah menghempas malam dan membiarkannya berlalu,
sedangkan kapal Siramau yang saya tumpangi beberapa jam ke depan akan bersandar
di Pelabuhan Bima. Dari kejauhan dan nampak jelas dalam pandangan, satu gugusan
pulau dengan gunung api yang menjulang tinggi dimana puncaknya belum
benar-benar terlihat karena awan putih masih cukup setia mendudukinya.
Pulau Sangean, itulah nama yang
merupakan identitas yang sering di alamatkan kepada pulau tersebut. Puncak
gunung Sangeang dengan ketinggian 6.394 ft, dari arah yang tak cukup jauh.
Menampilkan keindahan eksotik tersendiri dipelupuk mata para pelancong.
Keberadaan Gunung sangeang tak begitu diketahui oleh banyak pelancong, sehingga
tak selalu ramai dikunjungi. Gunung Sangiang terletak disebelah Utara Kabupaten
Bima, ujung timur Pulau Sumbawa Propinsi NTB.
Dari kapal Siramau, saya tidak hanya
dimanjakan oleh birunya lautan, dan bulir-bulir ombak yang memecah batang kapal
yang saya tumpangi, tetapi hijaunya pemandangan Pulau Sangian dari kejauhan
telah memberikan suasana yang menawan di pagi ini. Kopi hangat di kafe kapal
menambah hangat suasana pagi, sedangkan mata cukup leluasa menikmati
pemandangan Laut Flores yang cukup luas. Dalam catatan sejarah, Laut Flores
merupakan jalur yang cukup ramai dilewati oleh para pelancong dari Eropa dan
para pedagang yang berlayar ke arah timur Nusantara pada abad ke-16 bahkan
sampai abad ke-19.
Pulau Sangean memiki gunung Api yang
sewaktu-waktu dapat memuntahkan laharnya dan membuat panik banyak penduduk di
sekitar gunung tersebut. Sebab laharnya tidak hanya dapat mengganggu penduduk
setempat namun juga akan dirasakan pula oleh masyarakat lain seperti di Dompu
ketika debunya di terbangkan oleh angin. Letusan gunung Sangean cukup sering
terjadi dan sejauh ini belum ada catatan khusus yang menjelaskan tentang sudah
berapa kali gunung ini meletus.
Pada abad ke-16 sebagaimana catatan
Tome Pires yang berkebangsaan Portugis bahwa Laut Flores dimana Pulau Sangian
berada dalam jalur pelayaran yang menghubungkan wilayah barat Malaka, Sumatra,
Jawa dengan wilayah Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Di samping Pulau
Bima, terdapat Pulau Sangeang yang luas. Wilayahnya berpegunungan dan penduduk
banyak. Orang-orang ini sering melakukan perompakkan. Wilayahnya memiliki
banyak pelabuhan serta bahan makanan dan budak untuk dijual. Pulau ini
menerapkan hukum bagi para pencuri yang datang untuk menjual barang-barang yang
mereka curi dari pulau lain. Raja di tempat ini adalah seorang pagan. Letaknya
ada di awal jalan menuju ke timur (Pires, 2016:263).
Dari catatan Tome Pires ini
menunjukkan bahwa Pulau Sangean telah di tempati oleh penduduk dengan segala aktifitasnya.
Lahar gunung telah menyuburkan tanah di pulau tersebut, sehingga masyarakatnya
dapat menikmati hasil panen yang cukup, walaupun sewaktu-waktu letusan gunung
yang angkuh di samping pemukiman dapat mengancam keberlangsungan kehidupan
mereka.
Tahun 1952 Gunung Sangian mengamuk,
selama tiga hari berturut-turut. Namun ketika itu untungnya lahar gunung
mengalir kesebelah timur, sehingga tidak banyak menimbulkan korban jiwa.
Berbagai bala bantuan datang dari kota Bima dan sekitarnya untuk mengungsingkan
penduduk di Pulau Sangeang, ke Sangean daratan. Tidak semua penduduk di bawa ke
Sangeang daratan, sebab orang-orang tua dibiarkan untuk menjaga rumah mereka.
Dengan menyusuri pesisir laut dengan kapal Hatap yang ukuran kecil, dan star di
Pelabuhan Bima Haji Majid dan rombongan dengan sigap segera membawa bala
bantuan kepada penduduk Sangean kala itu.
Rombongan yang dipimpin oleh Haji
Gani Maskur seorang pemimpin Muhammadya Bima, dengan segera menyiapkan segala
hal yang dibutuhkan selama Sangean meletus. Tidak semua barang-barang dapat
diangkut, karena ukuran kapal yang tidak terlalu besar. Diantara perempuan yang
dibopong keluar daratan bahkan sempat kencing di celana. Hal ini menujukkan
kepanikan yang cukup luar biasa yang dialami penduduk Sangean kala itu. Sebuah
bencana alam yang telah menarik p simpati warga Bima untuk segera memberikan
bantuan kepada saudara mereka yang sedang tertimpa bencana alam.
Namun penduduk Sangeang tidak cukup
lama setelah diunsingkan kedaratan, mereka pun tetap ingin cepat kembali ke
rumah mereka di Pulau Sangeang, walaupun kondisi belum benar-benar kondunsif.
Mereka tidak ingin meninggalkan kampungnya telalu lama, walaupun dianjurkan
untuk menetap saja di Sangean daratan. Mereka beralasan, lahan di Sangeang
daratan tidak cukup tersedia untuk mereka yang mengungsi. (Wawancara Haji Abdul
Majid A.R 2016)
***
***
Tak terasa kapal Sirimau yang saya tumpangi, telah jauh melewati Pulau Sangean, namun gunung Api Pulau Sangen yang menjulang tinggi masih cukup terlihat dengan jelas berdiri angkuh dengan kesombongnya. Tiba-tiba infomasi dari pengeras suara dari sudut kapal bahwa sesaat lagi kapal akan bersandar di Pelabuhan Bima. Kapal Sirimau perlahan tapi memasuki Teluk Bima yang sedikit berkelok, dengan air laut yang cukup tenang. Dari sisi kiri kanan kapal, deretan perkampungan dapat terlihat cukup jelas di pesisir pantai, begitu juga dengan perkampungan masyarakat Donggo di atas Gunung Soromandi yang ada di sebelah barat. Kapal Sirimau adalah satu dari sekian kapal yang pernah melintas dan memasuki Teluk Bima. Untuk pembahasan Teluk Bima akan diuraikan di tulisan berikutnya. Bagi teman-teman yang menyukai pembahasan sejarah Bima, diharapkan memberikan komentarnya.
EmoticonEmoticon