Friday, 17 June 2016

Pulau Sangean Dalam Lintas Sejarah

Tags




Oleh: Suradin

Mahasiswa Pasca Sarjana UNM

Waktu menunjukan pukul 09:30 Wita, dimana pagi yang cukup cerah telah menghempas malam dan membiarkannya berlalu, sedangkan kapal Siramau yang saya tumpangi beberapa jam ke depan akan bersandar di Pelabuhan Bima. Dari kejauhan dan nampak jelas dalam pandangan, satu gugusan pulau dengan gunung api yang menjulang tinggi dimana puncaknya belum benar-benar terlihat karena awan putih masih cukup setia mendudukinya.

Pulau Sangean, itulah nama yang merupakan identitas yang sering di alamatkan kepada pulau tersebut. Puncak gunung Sangeang dengan ketinggian 6.394 ft, dari arah yang tak cukup jauh. Menampilkan keindahan eksotik tersendiri dipelupuk mata para pelancong. Keberadaan Gunung sangeang tak begitu diketahui oleh banyak pelancong, sehingga tak selalu ramai dikunjungi. Gunung Sangiang terletak disebelah Utara Kabupaten Bima, ujung timur Pulau Sumbawa Propinsi NTB.

Dari kapal Siramau, saya tidak hanya dimanjakan oleh birunya lautan, dan bulir-bulir ombak yang memecah batang kapal yang saya tumpangi, tetapi hijaunya pemandangan Pulau Sangian dari kejauhan telah memberikan suasana yang menawan di pagi ini. Kopi hangat di kafe kapal menambah hangat suasana pagi, sedangkan mata cukup leluasa menikmati pemandangan Laut Flores yang cukup luas. Dalam catatan sejarah, Laut Flores merupakan jalur yang cukup ramai dilewati oleh para pelancong dari Eropa dan para pedagang yang berlayar ke arah timur Nusantara pada abad ke-16 bahkan sampai abad ke-19.

Pulau Sangean memiki gunung Api yang sewaktu-waktu dapat memuntahkan laharnya dan membuat panik banyak penduduk di sekitar gunung tersebut. Sebab laharnya tidak hanya dapat mengganggu penduduk setempat namun juga akan dirasakan pula oleh masyarakat lain seperti di Dompu ketika debunya di terbangkan oleh angin. Letusan gunung Sangean cukup sering terjadi dan sejauh ini belum ada catatan khusus yang menjelaskan tentang sudah berapa kali gunung ini meletus.

Pada abad ke-16 sebagaimana catatan Tome Pires yang berkebangsaan Portugis bahwa Laut Flores dimana Pulau Sangian berada dalam jalur pelayaran yang menghubungkan wilayah barat Malaka, Sumatra, Jawa dengan wilayah Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Di samping Pulau Bima, terdapat Pulau Sangeang yang luas. Wilayahnya berpegunungan dan penduduk banyak. Orang-orang ini sering melakukan perompakkan. Wilayahnya memiliki banyak pelabuhan serta bahan makanan dan budak untuk dijual. Pulau ini menerapkan hukum bagi para pencuri yang datang untuk menjual barang-barang yang mereka curi dari pulau lain. Raja di tempat ini adalah seorang pagan. Letaknya ada di awal jalan menuju ke timur (Pires, 2016:263).

Dari catatan Tome Pires ini menunjukkan bahwa Pulau Sangean telah di tempati oleh penduduk dengan segala aktifitasnya. Lahar gunung telah menyuburkan tanah di pulau tersebut, sehingga masyarakatnya dapat menikmati hasil panen yang cukup, walaupun sewaktu-waktu letusan gunung yang angkuh di samping pemukiman dapat mengancam keberlangsungan kehidupan mereka.

Tahun 1952 Gunung Sangian mengamuk, selama tiga hari berturut-turut. Namun ketika itu untungnya lahar gunung mengalir kesebelah timur, sehingga tidak banyak menimbulkan korban jiwa. Berbagai bala bantuan datang dari kota Bima dan sekitarnya untuk mengungsingkan penduduk di Pulau Sangeang, ke Sangean daratan. Tidak semua penduduk di bawa ke Sangeang daratan, sebab orang-orang tua dibiarkan untuk menjaga rumah mereka. Dengan menyusuri pesisir laut dengan kapal Hatap yang ukuran kecil, dan star di Pelabuhan Bima Haji Majid dan rombongan dengan sigap segera membawa bala bantuan kepada penduduk Sangean kala itu.

Rombongan yang dipimpin oleh Haji Gani Maskur seorang pemimpin Muhammadya Bima, dengan segera menyiapkan segala hal yang dibutuhkan selama Sangean meletus. Tidak semua barang-barang dapat diangkut, karena ukuran kapal yang tidak terlalu besar. Diantara perempuan yang dibopong keluar daratan bahkan sempat kencing di celana. Hal ini menujukkan kepanikan yang cukup luar biasa yang dialami penduduk Sangean kala itu. Sebuah bencana alam yang telah menarik p simpati warga Bima untuk segera memberikan bantuan kepada saudara mereka yang sedang tertimpa bencana alam.
Namun penduduk Sangeang tidak cukup lama setelah diunsingkan kedaratan, mereka pun tetap ingin cepat kembali ke rumah mereka di Pulau Sangeang, walaupun kondisi belum benar-benar kondunsif. Mereka tidak ingin meninggalkan kampungnya telalu lama, walaupun dianjurkan untuk menetap saja di Sangean daratan. Mereka beralasan, lahan di Sangeang daratan tidak cukup tersedia untuk mereka yang mengungsi. (Wawancara Haji Abdul Majid A.R 2016)
***

Tak terasa kapal Sirimau yang saya tumpangi, telah jauh melewati Pulau Sangean, namun gunung Api Pulau Sangen yang menjulang tinggi masih cukup terlihat dengan jelas berdiri angkuh dengan kesombongnya. Tiba-tiba infomasi dari pengeras suara dari sudut kapal bahwa sesaat lagi kapal akan bersandar di Pelabuhan Bima. Kapal Sirimau perlahan tapi memasuki Teluk Bima yang sedikit berkelok, dengan air laut yang cukup tenang. Dari sisi kiri kanan kapal, deretan perkampungan dapat terlihat cukup jelas di pesisir pantai, begitu juga dengan perkampungan masyarakat Donggo di atas Gunung Soromandi yang ada di sebelah barat. Kapal Sirimau adalah satu dari sekian kapal yang pernah melintas dan memasuki Teluk Bima. Untuk pembahasan Teluk Bima akan diuraikan di tulisan berikutnya. Bagi teman-teman yang menyukai pembahasan sejarah Bima, diharapkan memberikan komentarnya.



EmoticonEmoticon