Oleh:
Dr. Mohd. Sabri AR
Alastu bi rabbikum, bukankah aku
adalah Tuhanmu/Bala shahidna, ya kami adalah saksinya./Tak ada di dunia
ini/yang lebih indah dan baik daripada/alam alastu…/Kau bilang Maulana, kami
semua adalah anak-anak Adam/yang selalu teringat, alam alastu itu penuh
dengan musik surgawi/kendati kami sudah tertutupi debu keraguan../Suaranya
masih terdengar merdu/membuat hati tertindih rindu/Di sana semua ciptaan
menari-nari/mengikuti irama musiknya/….semuanya menari, rindu kembali/ke alam
alastu.
(Sindhunata, “Ke Surga dengan Menari
Sama,” 2006)
Matsnawi, kota Konya, dan Rûmî adalah
sebuah ruang jiwa yang identik. Jika salah satunya disebut, yang lainnya ikut
terjaring dalam tafakur. Tapi, dua yang pertama hadir, justru karena gema
ratapan kerinduan agung sufi-penyair, Rûmî.
Matsnawi adalah buah harum
intuisi-puitik dari samudera batin Rûmî yang terefleksikan dalam larik-larik
sajak yang diselimuti pesona magis dan rindu yang tertindih. Kitab ini
menyisakan jejak tangis abadi dan air mata kerinduan kudus akibat kehilangan
gurunya Syams al-Tabrizi—sahabat “misteri” dalam perjalanan spiritual—menyusul
ketidakmampuan Rûmî menemukan seorang sahabat yang pas untuk berbagi
pengalaman-senyap keruhaniannya.
Maulana Rûmî mendaku,
“Matsnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin mencari kebenaran,
menyingkap rahasia-rahasia Ilahi, dan karib dengan rahasia-rahasia tersebut”.
Lihatlah pesonanya: “Jika kau punya jantung/bertawaflah
mengelilinginya!/secara ruhani/Ka’bah sejati adalah jantung/bukan bangunan
fisik dari batu dan tanah/Allah mewajibkan mengelilingi Ka’bah fisik/untuk
merengkuh Ka’bah jantung/yang bersih dan murni”.
Aktus penyelaman ke kedalaman batin
yang paling sublim, menyebabkan Rûmî menyaksikan peristiwa-peristiwa
penyingkapan yang tak tepermanai. Melalui kemurnian cahaya penyaksian
(musyâhadah), Rûmî mengerang: “Aku menjadi hamba/menjadi hamba/dan menjadi
hamba/aku hamba tak berdaya/malu karena gagal menunaikan kehambaanku/maka
kutundukkan kepala../Setiap hamba akan bahagia jika dibebaskan/Wahai Tuhan!/aku
bahagia karena menjadi hamba-Mu”.
Perjumapannya dengan Syams, membuka
api suci kerinduan Rûmî yang sejauh ini menjadi tirai penghalang bertemu Sang
Kekasih. Misi Syams adalah mengangkat pemahaman dan penglihatan batin Rûmî ke
level yang tak ditekuk logico-positivistic. Sebab itu, Rûmî mengerang
kegirangan, karena berhasil menghalau sekat, dan melesat jauh menerobos
realitas transenden.
Lautan misteri di dalam hati
Rûmî, terus menggelegak dan membakar laksana samudera minyak yang tersentuh
kilatan api. Begitulah, Syams membakar kerinduan Rûmî, tapi kemudian dia
menyaksikan sebuah ledakan dahsyat yang justru membuatnya ikut terbakar. Sejak
itu, kerinduan, pengetahuan dan kearifan mereka tentang Allah, bertaut.
Ketika Syams meninggal, Rûmî terasa
terpanggang api kesepian yang tak bertepi. Matsnawi—yang menghimpun tak kurang
dari 26.000 sajak—hadir sebagai jeritan kerinduan terdalam. Sebab itu, Matsnawi
dapat dipandang sebagai puisi perpisahan. Sejak Nur Muhammad menyentuh Rûmî
melalui Syams, kepergiannya ke alam baka merupakan perpisahan yang tak terperi
bagi Rûmî. Karena dia dituntun oleh Syams
menuju samudera makna yang tak tepermanai, dia merindukannya sepanjang
hayatnya. Dia laksana Majnun dalam legenda romansa, yang ditakdirkan
untuk terbakar api cinta abadi terhadap Laila. Ketika seorang mewartakan,
“Syams masih hidup,” Rûmî spontan menyerahkan semua miliknya kepada orang
tersebut. Sejumlah Sahabat Rûmî mengingatkan jika ikhwal perkabaran itu bohong.
Rûmî lalu memberi jawab: “Hadiah ini kuserahkan untuk sebuah kebohongan tentang
hidupnya Syams. Andai saja aku mendengar kabar benar tentang dia, aku akan
serahkan hidupku”.
Gelombang kerinduan spiritual Rûmî
dilukiskan Matsnawi ibarat seruling sunyi yang merintih: Dengarlah
seruling/menyimpan pesan/Ia menyingkap rahasia Allah yang tersembunyi/Wajahnya
memucat/raganya kosong/yang tersisa/hanya napas sang peniup/dan
melantunkan/’Allah, Allah’/tanpa lidah/tanpa bahasa.
Getar getir dan ratapan kerinduan
yang tak tunai dalam kalam, juga mengerkah teosof-penyair, Farid al-Dîn
al-Târ, yang gagal menemukan sahabat sejati dalam berbagi menyauk telaga
keruhanian: “Aku seekor burung/terbang dari dunia rahasia/tujuanku mencari
mangsa/untuk kuterbang bersama/…/sayang, tak kutemukan seseorang/yang mengenali
rahasia-rahasia ini/Aku kembali melalui pintu masuk/yang dulu.”
Matsnawi sejatinya adalah
serangkaian kisah alegoris, galaksi makna, dan semesta kode. Rûmî tak sedikit
memainkan butiran cahaya dunia lambang untuk sampai ke rahasia-Nya, tenggelam
di kedalaman cinta-Nya: “Wahai saudaraku!/kisah-kisah itu ibarat sekam/maknanya
seperti inti gandum di dalamnya/Orang berakal memakan dan mencerna
gandumnya/dan tidak terkecoh oleh kulitnya!/Dengarkan! sisi luar kisah-kisah
itu/tapi pastikan kautahu/memisahkan inti gandum dari sekamnya/Kata-kataku tak
pernah nirmakna/Renungkan:/pengungkapan itu mecerminkan kedalaman batin kita”.
Matsnawi juga senandung
nestapa-kerinduan untuk segera menyatu dengan-Nya: Setelah kaulihat peti
matiku diusung/setelah kepergianku/jangan tangisi aku/jangan ucapkan perpisahan
ketika aku diturunkan/ke lahad/…/benih mana yang tak tumbuh/setelah disemai
dalam tanah/jangan mengira aku terkubur dalam tanah/Ada tujuh lagit di bawah
kakiku. Alquran diawali dengan seruan,
‘Baca!’ Matsnawi dimulai dengan seruan, ‘Dengarkan!’ Seruan yang kedua
mengandaikan: ‘Dengarkan logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan
kebenaran yang menggema dalam dirimu!


EmoticonEmoticon