Oleh : Saifuddin Al Mughniy
OGIE Institute Research and Political Development
*****
OGIE Institute Research and Political Development
*****
Di saat yang sama manusia berkecendrungan melakukan perenungan, dengan cara mencoba menelusuri lintasan berfikirnya tentang Tuhan. Yang boleh jadi bagi kita perkara Tuhan adalah perkara nilai dan transendensi. Yang terdefenisikan dengan melihat ciptaanNya, atau boleh jadi dengan memperhatiakn aspek ada atau ketiadaan akan sesuatu yang mungkin tidak (di) adakan dengan sendirinya. Proposisi akan pengetahuan kita telah mengantarkan manusia pada relung “syubhat”. Ya, sebuah keraguan akan nilai dan eksistensi.
Pembelengguan akan hakekat diri manusia adalah
sebuah kenscayaan akan sebuah eksistensi, sehingga Michel Foucalt menyebutnya
“Episteme” yakni sesuatu yang tak terlihat di balik realitas. Dan bagi para
pencari Tuhan tentu haruslah berterima kasih dengan konsep tersebut, sebab dengan
manusia mampu menerima suatu hakekat kebenaran tanpa kebenaran realitas, itulah
yang saya sebut dengan (keyakinan).
Sehingga mencermati sebuah hakekat (diri) sebagai
manifestasiakan nilai eksistensi bukan tidak mungkin akan melahirkan sejarah
baru dalam kedudukan Tuhan (yang tak Nampak) dengan manusia yang bergelut dalam
realitas. Ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat proposisi dengan
keimanan yang memampukan kita menaruh keyakinan akan kebenaran
proposisi-proposisi itu. Secara implisit, kita percaya Tuhan itu ada; bahkan
seseorang kristiani juga beriman kepada kehadiran sejati Kristus dalam
Ekaristi, kepada kebenaran sakramen, kepada kemungkinan keabadian neraka, dan
kepada realitas objektif peleburan dosa atau penghapusan dosa manusia dalam
kehidupannya.
Bahkan seorang kristiani pun memandang tentang
ajaran Katolik Roma lebih merupakan sebuah kredo yang menakutkan. James Joyce
menyuarakan hal ini dengan tepat dalam bukunya Portrait of the Artist as a
Young Man; dengan memperdengarkan khotbah tentang api neraka. Kenyataannya,
neraka merupakan realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan. Sekalipun Islam
memandang bahwa perkara syurga dan neraka adalah penciptaan Tuhan bagi
konsekuensi kebaikan dan ketidak baikan perbuatan manusia. Namun pemikir
kristiani memandang bahwa neraka adalah sesuatu yang secara imajinatif bisa
betul-betul di pahami. Namun di pihak yang lain, Tuhan merupakan figur kabur
yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi.
Sebuah pergulatan nalar yang memantik kita untuk lebih melihat bahwa Tuhan itu
ada.
Namun disela perebutan nalar kebenaran manusia itu
muncul, maka ada saja pertanyaan yang kemudian muncul dengan cara menggelitik
dan sederhana, Apakah Tuhan itu ?? Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan
sendirinya dan Dia sempuma tanpa batas.” Dalam pandangan Islam begitu tegas dan
sedikit (arogan) mengatakan bahwa Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula
di peranakkan (Al Ikhlas), walau dalam pandangan kaum kristiani ortodoks
menilai bahwa itu sesuatu yang tidak cukup kuat untuk menjadi benar. Walaupun
secara tidak sadar mereka pun mengakui bahwa Tuhan itu ber-esesnsi satu atas
yang lainnya.
Bahkan anehnya kaum fundamentalisme pun tergugah
oleh keindahan liturgi dan, walau meskipun Tuhan masih tetap terasa jauh, namun
mereka merasakan kemungkinan untuk mendekatkan jarak kepadanya dan bahwa
penampakannya akan mengubah seluruh realitas ciptaan.Tuhan terasa tidak hadir
di dalam semua ini. Perhatian justru dipusatkan kepada perincian sekunder dan
aspek-aspek pinggiran dari agama. Sebab dengan agama ada kemungkinan akan
mengungkap tabir Than di dalam maupun di luar realitas.
Bahkan boleh jadi kita sebagai seorang yang beragama pernah membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi dan kaum mistik. Yesus Kristus, yang lebih sering dibicarakan orang Kristen ketimbang “Tuhan” itu sendiri, tampaknya cuma merupakan figur historis murni yang terjalin erat dengan masa lalu.
Bahkan boleh jadi kita sebagai seorang yang beragama pernah membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi dan kaum mistik. Yesus Kristus, yang lebih sering dibicarakan orang Kristen ketimbang “Tuhan” itu sendiri, tampaknya cuma merupakan figur historis murni yang terjalin erat dengan masa lalu.
Dan disini akan muncul sebuah keraguan besar
terhadap doktrin gereja, yang lebih menonjolkan Yesus ketimbang Tuhan sebagai
figur sentral lahirnya sebuah kehidupan dan peradaban. Dan bagaimana mungkin
mengetahui dengan pasti bahwa manusia Yesus merupakan inkarnasi Tuhan dan apa
arti kepercayaan itu? Apakah Perjanjian Baru benar-benar mengajarkan doktrin
Trinitas yang rumit dan sangat kontradiktif itu atau, sebagaimana banyak aspek
keimanan lainnya, merupakan hasil buatan para teolog berabad-abad setelah
wafatnya Yesus di Yerusalem, seribu Tanya yang tak pernah terjawab.
Namun, tak kalah benarnya jika dinyatakan bahwa
humanisme liberal Barat bukanlah sesuatu yang secara alamiah datang kepada
kita; sebagaimana apresiasi atas seni atau puisi, ia harus ditumbuhkan.
Humanisme itu sendiri merupakan sebuah agama tanpa Tuhan tidak semua agama,
tentunya, bersifat teistik. Cita-cita etika sekular kita mempunyai disiplin
pikiran dan hatinya sendiri dan menyediakan bagi manusia sarana untuk menemukan
keyakinan pada makna tertinggi kehidupan manusia seperti yang pernah disediakan
oleh agama-agama konvensional, yang terus hidup dan bergerak dalam sejarah dan
zamannya masing-masing.
TUHAN, yang mengandung arti yang secara sepintas
berbeda pada setiap periode sejarah dan zaman Orang-orang yang diberi julukan
“ateis” selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah (Tuhan yang satu), Apakah
“Tuhan” yang ditolak oleh ateis masa sekarang adalah Tuhannya para
patriarkisme, Tuhan para nabi, Tuhan para filosof, Tuhan kaum sufi, atau Tuhan
kaum ateis abad ke-18? Semua ketuhanan ini telah dimuliakan sebagai Tuhan
Alkitab dan Al-Quran oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam pada berbagai periode
perjalanan sejarah mereka. Kita akan menyaksikan bahwa mereka sangat berbeda
satu sama lain. Ateisme sering merupakan keadaan transisi, makanya orang
Yahudi, Kristen, dan Muslim disebut “ateis” oleh kaum beragama semasa mereka
karena telah mengadopsi gagasan revolusioner tentang keilahian dan
transendensi.
Apakah ateisme modern merupakan penolakan serupa
terhadap “Tuhan” yang tidak lagi memadai bagi persoalan di zaman kita. Tentu
jawabannya adalah bahwa Tuhan yang tetap ber-eksistensi dan bernilai esensi
dalam setiap relung sejarah dan zaman dimana manusia melintasi sejarah Tuhan,
itu berarti Tuhan yang tak teragukan. Adalah salah satu karakteristik pikiran
manusia yang mengagumkan untuk mampu menciptakan konsep-konsep yang menjangkau
jauh seperti itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia
tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta kehidupan.memang dalam
jangkauan ilmu pengetahuan manusia, seringkali kita jumpai sebuah persinggungan
antara tafsir langit dan tafsir bumi yang nyaris tak menemui kesepakatan atas
nilai, sebab tafsir langit cendrung abstrak, sementara tafsir bumi lebih
memandang pada asas realitas dalamkehidupan mereka.
Inilah yang kemudian secara sadar membentuk
hipokritik terhadap nilai yang ada, tak terkecuali Tuhan pun lelah dalam
bincangannya.
Mungkin, sebuah proses pencarian membutuhkan petunjuk, ketika kitab para agama menjadi catatan kritis untuk merespon Tuhan dalam berbagai hal, maka Tuhan pun memilih “diam” sebab, petunjuk itu tak berlaku lagi di zaman periode manusia. Sejarah, telah menjadikannya “menyerah” dalam ke-ADA-an Tuhan, bukan tanpa TIADA.
Mungkin, sebuah proses pencarian membutuhkan petunjuk, ketika kitab para agama menjadi catatan kritis untuk merespon Tuhan dalam berbagai hal, maka Tuhan pun memilih “diam” sebab, petunjuk itu tak berlaku lagi di zaman periode manusia. Sejarah, telah menjadikannya “menyerah” dalam ke-ADA-an Tuhan, bukan tanpa TIADA.
*Akhir dari tulisan ini Tuhan pun di cari*
EmoticonEmoticon