Saturday 18 June 2016

Manusia dalam Lintasan Tuhan (Vol. 2)



Manusia dalam Lintasan Tuhan (Vol. 2)

Oleh : Saifuddin Al Mughniy
OGIE Institute Research and Political Development
*****

Di saat yang sama manusia berkecendrungan melakukan perenungan, dengan cara mencoba menelusuri lintasan berfikirnya tentang Tuhan. Yang boleh jadi bagi kita perkara Tuhan adalah perkara nilai dan transendensi. Yang terdefenisikan dengan melihat ciptaanNya, atau boleh jadi dengan memperhatiakn aspek ada atau ketiadaan akan sesuatu yang mungkin tidak (di) adakan dengan sendirinya. Proposisi akan pengetahuan kita telah mengantarkan manusia pada relung “syubhat”. Ya, sebuah keraguan akan nilai dan eksistensi.

Pembelengguan akan hakekat diri manusia adalah sebuah kenscayaan akan sebuah eksistensi, sehingga Michel Foucalt menyebutnya “Episteme” yakni sesuatu yang tak terlihat di balik realitas. Dan bagi para pencari Tuhan tentu haruslah berterima kasih dengan konsep tersebut, sebab dengan manusia mampu menerima suatu hakekat kebenaran tanpa kebenaran realitas, itulah yang saya sebut dengan (keyakinan).
Sehingga mencermati sebuah hakekat (diri) sebagai manifestasiakan nilai eksistensi bukan tidak mungkin akan melahirkan sejarah baru dalam kedudukan Tuhan (yang tak Nampak) dengan manusia yang bergelut dalam realitas. Ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat proposisi dengan keimanan yang memampukan kita menaruh keyakinan akan kebenaran proposisi-proposisi itu. Secara implisit, kita percaya Tuhan itu ada; bahkan seseorang kristiani juga beriman kepada kehadiran sejati Kristus dalam Ekaristi, kepada kebenaran sakramen, kepada kemungkinan keabadian neraka, dan kepada realitas objektif peleburan dosa atau penghapusan dosa manusia dalam kehidupannya.

Bahkan seorang kristiani pun memandang tentang ajaran Katolik Roma lebih merupakan sebuah kredo yang menakutkan. James Joyce menyuarakan hal ini dengan tepat dalam bukunya Portrait of the Artist as a Young Man; dengan memperdengarkan khotbah tentang api neraka. Kenyataannya, neraka merupakan realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan. Sekalipun Islam memandang bahwa perkara syurga dan neraka adalah penciptaan Tuhan bagi konsekuensi kebaikan dan ketidak baikan perbuatan manusia. Namun pemikir kristiani memandang bahwa neraka adalah sesuatu yang secara imajinatif bisa betul-betul di pahami. Namun di pihak yang lain, Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi. 

Sebuah pergulatan nalar yang memantik kita untuk lebih melihat bahwa Tuhan itu ada.
Namun disela perebutan nalar kebenaran manusia itu muncul, maka ada saja pertanyaan yang kemudian muncul dengan cara menggelitik dan sederhana, Apakah Tuhan itu ?? Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempuma tanpa batas.” Dalam pandangan Islam begitu tegas dan sedikit (arogan) mengatakan bahwa Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula di peranakkan (Al Ikhlas), walau dalam pandangan kaum kristiani ortodoks menilai bahwa itu sesuatu yang tidak cukup kuat untuk menjadi benar. Walaupun secara tidak sadar mereka pun mengakui bahwa Tuhan itu ber-esesnsi satu atas yang lainnya.

Bahkan anehnya kaum fundamentalisme pun tergugah oleh keindahan liturgi dan, walau meskipun Tuhan masih tetap terasa jauh, namun mereka merasakan kemungkinan untuk mendekatkan jarak kepadanya dan bahwa penampakannya akan mengubah seluruh realitas ciptaan.Tuhan terasa tidak hadir di dalam semua ini. Perhatian justru dipusatkan kepada perincian sekunder dan aspek-aspek pinggiran dari agama. Sebab dengan agama ada kemungkinan akan mengungkap tabir Than di dalam maupun di luar realitas.
Bahkan boleh jadi kita sebagai seorang yang beragama pernah membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi dan kaum mistik. Yesus Kristus, yang lebih sering dibicarakan orang Kristen ketimbang “Tuhan” itu sendiri, tampaknya cuma merupakan figur historis murni yang terjalin erat dengan masa lalu.

Dan disini akan muncul sebuah keraguan besar terhadap doktrin gereja, yang lebih menonjolkan Yesus ketimbang Tuhan sebagai figur sentral lahirnya sebuah kehidupan dan peradaban. Dan bagaimana mungkin mengetahui dengan pasti bahwa manusia Yesus merupakan inkarnasi Tuhan dan apa arti kepercayaan itu? Apakah Perjanjian Baru benar-benar mengajarkan doktrin Trinitas yang rumit dan sangat kontradiktif itu atau, sebagaimana banyak aspek keimanan lainnya, merupakan hasil buatan para teolog berabad-abad setelah wafatnya Yesus di Yerusalem, seribu Tanya yang tak pernah terjawab.

Namun, tak kalah benarnya jika dinyatakan bahwa humanisme liberal Barat bukanlah sesuatu yang secara alamiah datang kepada kita; sebagaimana apresiasi atas seni atau puisi, ia harus ditumbuhkan. Humanisme itu sendiri merupakan sebuah agama tanpa Tuhan tidak semua agama, tentunya, bersifat teistik. Cita-cita etika sekular kita mempunyai disiplin pikiran dan hatinya sendiri dan menyediakan bagi manusia sarana untuk menemukan keyakinan pada makna tertinggi kehidupan manusia seperti yang pernah disediakan oleh agama-agama konvensional, yang terus hidup dan bergerak dalam sejarah dan zamannya masing-masing.
TUHAN, yang mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah dan zaman Orang-orang yang diberi julukan “ateis” selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah (Tuhan yang satu), Apakah “Tuhan” yang ditolak oleh ateis masa sekarang adalah Tuhannya para patriarkisme, Tuhan para nabi, Tuhan para filosof, Tuhan kaum sufi, atau Tuhan kaum ateis abad ke-18? Semua ketuhanan ini telah dimuliakan sebagai Tuhan Alkitab dan Al-Quran oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam pada berbagai periode perjalanan sejarah mereka. Kita akan menyaksikan bahwa mereka sangat berbeda satu sama lain. Ateisme sering merupakan keadaan transisi, makanya orang Yahudi, Kristen, dan Muslim disebut “ateis” oleh kaum beragama semasa mereka karena telah mengadopsi gagasan revolusioner tentang keilahian dan transendensi.

Apakah ateisme modern merupakan penolakan serupa terhadap “Tuhan” yang tidak lagi memadai bagi persoalan di zaman kita. Tentu jawabannya adalah bahwa Tuhan yang tetap ber-eksistensi dan bernilai esensi dalam setiap relung sejarah dan zaman dimana manusia melintasi sejarah Tuhan, itu berarti Tuhan yang tak teragukan. Adalah salah satu karakteristik pikiran manusia yang mengagumkan untuk mampu menciptakan konsep-konsep yang menjangkau jauh seperti itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta kehidupan.memang dalam jangkauan ilmu pengetahuan manusia, seringkali kita jumpai sebuah persinggungan antara tafsir langit dan tafsir bumi yang nyaris tak menemui kesepakatan atas nilai, sebab tafsir langit cendrung abstrak, sementara tafsir bumi lebih memandang pada asas realitas dalamkehidupan mereka.

Inilah yang kemudian secara sadar membentuk hipokritik terhadap nilai yang ada, tak terkecuali Tuhan pun lelah dalam bincangannya.
Mungkin, sebuah proses pencarian membutuhkan petunjuk, ketika kitab para agama menjadi catatan kritis untuk merespon Tuhan dalam berbagai hal, maka Tuhan pun memilih “diam” sebab, petunjuk itu tak berlaku lagi di zaman periode manusia. Sejarah, telah menjadikannya “menyerah” dalam ke-ADA-an Tuhan, bukan tanpa TIADA.

*Akhir dari tulisan ini Tuhan pun di cari*


EmoticonEmoticon