Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen Pengajar di UIN Alauddin Makassar
Siapa yang melihat pertautan sempurna antara
terorisme dan ajaran, terlebih lagi ideologi, melupakan satu hal: bahwa ada sesuatu
yang lebih awal, dan lebih hening, ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.
Yang memilukan dalam sejarah adalah bahwa luka itu tampaknya tak tertampik lalu
menyisakan jejak pada tubuh, pada jiwa. Sejumlah pemikiran klasik tentang manusia
mewartakan dua pembedaan biner: tubuh (body) dan jiwa (mind) dengan
memosisikan yang terakhir sebagai fokus kajian filsafat dan mengabaikan yang
pertama. Descartes yang menyulut gagas itu dan mengandaikan ‘jiwa’ sebagai
petanda eksistensi, sebagai konfirmasi ontologis tentang ‘ada’. Sebaliknya Marx
menghancurkan determinasi pikiran ini, lalu merayakan pandangan ‘determinasi
tubuh’, dengan mengatakan ‘relasi produksi material’—dan peran tubuh (pekerja)
di dalamnya—justru menentukan struktur pikiran dan ideologi, bukan sebaliknya.
Inilah yang melahirkan pandangan yang bersilang
tentang tubuh: ‘idealisme’ dan ‘materialisme’. Pandangan terakhir diwakili,
misalnya oleh Ranciére yang mengandaikan tubuh sebagai ‘yang mengindera’
(sensible): ‘yang kasatmata’, ‘yang dipertontonkan’, dan ‘yang tampak’. Juga
tubuh dilihat sebagai ‘konsensus sosial’ yang bekerja melalui mekanisme partisi
yang memilah tubuh dalam ‘bilik-bilik’ ruang, tempat, dan waktu dalam relasi
sosial. Tubuh, sebab itu, dibingkai ke dalam aneka konvensi. Tubuh diandaikan selalu berada dalam tegangan:
antara personal dan sosial, privat dan publik, ‘aku’ dan liyan, kodrati dan
konstruksi, atau antara natural dan kultural. Ketika tubuh berada di ruang
sosial, ia menjadi tumpuan berbagai norma, konvensi, dan kode-kode sosial yang
koersif. Di sini, ‘tubuh individual’ ditransformasikan menjadi ‘tubuh sosial’.
Dalam ruang sosial, tubuh acapkali menjadi sasaran
eksploitasi sejumlah kepentingan: ekonomi, agama, politik, media, hiburan, dan
seni. Bahkan tubuh, kerap dieksploitasi—dan menjadi sasaran tembak dari—sebilah
praktik kekuasaan. Di ruang ekonomi, tubuh menjelma sebagai komoditas; di bilik
politik, tubuh dikonversi menjadi massa; di ranah budaya, tubuh menjadi
‘tontonan’, dan dalam agama, tubuh menjadi ‘umat’ yang bisa ditarik ke sana ke
mari dan mengabdi pada kepentingan profan.
Di dalam relasi kekuasaan, tubuh tidak saja menjadi
objek, tapi juga medium komunikasi dan penyampaian pesan. Di titik ini, tubuh
dikonversi menjadi ‘tanda’ yakni ‘tanda tubuh’ (body sign) sebagai titik
tumpuan dari percakapan ‘semiotika tubuh’ yang mengandaikan proses produksi
tubuh sebagai penanda sosial. Tubuh, sebab itu, dalam perspektif Saussurian,
dijadikan sebagai serangkaian penanda (signifier) yang ditumpangi dengan
aneka makna atau konotasi: pesona, sensual, jantan, dan kuasa. Di sisi
tertentu, tubuh juga dikonversi sebagai sebuah ‘teks’—yakni kumpula semesta
tanda—untuk mengekspresikan sebilah konsep atau narasi tertentu. Tubuh sebagai
‘narasi’ menunjuk pada sebuah proses rangkaian tanda yang penuh makna.
Namun kapitalisme hadir untuk menjungkirkan makna
yang melekat pada tubuh. Nalar kapitalisme memosisikan tubuh tak lebih sebagai
‘alat tukar’. Di sini, tubuh diandaikan sebagai citra atau kode untuk
memberi makna pada komoditas. Karena itu, eksploitasi potensi pesona
tubuh—khususnya perempuan—merupakan “prosedur tetap” dan baku dalam setiap
produksi komoditas dan pertukarannya. Lihatlah bagaimana tubuh dengan mudahnya
‘terhempas’ dalam hantaman dekonstruksi moral. Komodifikasi dan liberalisasi
tubuh tanpa batas menciptakan dua paras dunia: ‘ketelanjangan’ dan
‘nir-rahasia’, di atas mana segala bangunan moral tentang tubuh dikhianati,
demi untuk mendongkrak daya pesona komoditas.
Sementara itu, kehidupan sosial—dengan ranah
yang demikian kaya dan berwarna—adalah habitus, ruang di mana tubuh
diproduksi sebagai aneka tanda yang diideologisasi melalui kekuatan bahasa.
‘Ideologisasi tubuh’, karena itu, adalah mekanisme di mana tubuh diproduksi
melalui ragam wacana bahasa, gagasan, dan ideologi—di atas mana kesadaran
aku-subyek tumbuh mekar di dalamnya.
Pengandaian dan permainan tanda ‘ideologisasi
tubuh’ ini, pada urutannya meletakkan tubuh sebagai dan dieksploitasi menjadi
penanda yang diselubungi makna-makna tertentu. Tanda tubuh di era hiperialitas
ini, menjadi semacam ‘alat tukar’ (currency) sesuai dengan fungsinya di
dalam sistem komunikasi sosial. Di dalam arena permainan tanda
‘religiusitas’, umpamanya tubuh acapkali dinilai sebagai sesuatu yang kotor dan
sebab itu menjadi “penghalang” untuk mencapai derajat eksoteisme
spiritualitas sekalipun. Prinsip thaharah atau “bersuci” yang menjadi
salah satu tungku keberagamaan api Islam, adalah representasi dari keyakinan
ini. Seseorang tidak diperkenankan melakukan sebuah proses transendensi dalam
meraih makna puncak kehidupan spiritual melalui ibadah salat, kecuali diawali
dengan tindakan wudhu, yakni penyucian anggota-anggota tubuh tertentu yang
diyakini sebagai bentuk imperatif dari titah-Nya.
Begitulah, ketika tubuh—dalam konstruksi sumbu-gagas tertentu—tercabik bersama serpihan logam, dan darah yang muncrat, dan gelegar raung sebuah bom: sejatinya, yang tengah berlangsung bukanlah jejak dari setangkup ideologi atau ajaran, tapi luka perih meradang yangbisu
EmoticonEmoticon