Oleh: Ruslan
Penggiat Literasi
Suatu hari disaat saya
menghadiri kegiatan Makassar Writters Internasional Festival (MWIF), yang
dilaksanakan di benteng Fort Rotterdam 19-21 mei bulan lalu. Ada banyak
aktivitas para penulis yang sedang berlangsung, mereka membuat forum-forum
diskusi kepenulisan. Tentu saja kegiatan itu sangat ramai dikunjungi oleh warga
Makassar, para pengunjung yang berdatangan dari berbagai kelas sosial
masyarakat mencicipi hidangan lapak-lapak buku yang dibuka untuk dibaca secara
gratis ditaman. Buku-buku berjejeran tersimpan dalam rak, kemudian dipajang
rapi dengan dekorasi yang fleksibel, siapa saja yang datang dipersilahkan untuk
membaca buku kesukaannya secara gratis.
Sepanjang halaman
benteng Rotterdam, hampir-hampir kita tidak melihat ada aktivitas kosong. Para
pelapak sudah merancang agar halaman taman bisa digunakan sebaik mungkin.
Selain stand buku novel terbaru yang dipajang, ada juga berbagai menu makanan
khas yang disediakan panitia. Begitu anda datang mengunjungi standnya, anda akan
langsung disambut dengan senyuman simpul dari gadis-gadis cantik yang menjaga
stand. Ayu ia melangkahkan kakinya, sembari memperlihatkan pipi lesung dan
hidung mancungnya. Sesaat aku teringat dengan sebuah filem kolosal yang pernah
saya nonton bersama teman-teman diwaktu menjadi anak sekolahan dulu. Seorang
gadis jepang berperawakan baik dan santun, ia menggunakan baju khas jepang “khimono” . eh kok malah ngawur ngomongin
gadis jepang segala.
Ya,, nda apa-apa toh
neng, sekali-sekali kan boleh yang penting jangan keseringan. Memang kalau
bicara tentang seorang gadis cantik, konsentrasi lelaki selalu direcoki,, ada
aQua.!
Stand buku tadi
memiliki stok buku para penulis, ada diantara beberapa buku yang dipajang
diatas rak buku. Sebuah novel Natisha yang ditulis oleh Khirsna Phabicara daeng
Marewa. Ia asli orang Sulawesi selatan kelahiran Jeneponto, melanglangbuana ke
Jakarta dan menjadi penulis dan sastrawan yang patut di ancungi jempol. Novel
Natisha yang ia tulis berdasarkan pengamatannya selama 11 tahun. Ia meneliti
sebuah mitos yang masih dipercayai oleh masyarakat di sulsel tentang Parakang. Menurut Khrisna Pabhicara
parakang adalah sebuah cerita rakyat yang diceritakan secara terus menerus. Ia
semacam hantu yang bisa menjelma seperti manusia biasa, dan bahkan ia juga bisa
ada di antara kita. Sulit untuk membedakan parakang dengan kita, karena ia juga
membaur seperti manusia biasa. Saya juga merasa sulit untuk menceritakan kisah
dalam novel Natisha tentang parakang, lantaran background saya bukan dari sulsel
dan ditambah saya belum membaca novel Natisha tersebut.
Pernah dalam sebuah dialog dengan Khrisna Pabichara
mengenai isi Novel Natisha, beberapa jurus sudah ku persiapkan dari awal untuk
bertanya seputar novel yang ia tulis. dan berharap diakhir diskusi ia dapat
membagi novelnya secara gratis kalau-kalau ada peserta yang kritis terhadap
novelnya. Namun harapan tinggalah harapan saja, akhirnya berulang-ulang tangan
ini nakal dan menggedor-gedor jidat (tepuk jidat).
Memang perlu diancungi
jempol kegiatan MWIF, berjalan dengan semarak. Selain itu datang juga para
penulis dari mancanegara, mereka datang berpartisipasi untuk mengikuti festival
buku internasional. Saya selalu membayangkan, teman-teman dijogja. Mereka
sering membuat festival, baik itu festival buku, musik bahkan festival budaya.
Ada banyak anak muda yang punya cara berpikir maju, jauh dari hal-hal yang
sifatnya dekonstruktif.
Mereka memobilisasi
teman-temannya untuk membuat kegiatan yang bersifat membangun. Walaupun saya
tidak pernah kejogja, tapi beberapa kali saya hubungi teman yang tinggal
disana. Mereka mengatakan kalau jogja sering membuat event kegiatan dengan
skala besar, dan selalu mengundang perhatian publik. Kota gede jogja, bukan
saja terkenal dengan lingkungan pendidikan yang mumpuni, hampir semua mahasiswa
dari berbagai daerah datang menimba ilmu disini. Tak terkecuali sayapun
demikian, namun nasib berkehendak lain, akhirnya saya kuliah di Makassar. Kota
jogja juga dikenal dengan daerah dengan skala Festival Budaya yang amat besar,
baru-baru ini jogja sudah menyelenggarakan kegiatan ArtJog9. Sebuah
pertunjukkan maha karya seni di tampilkan dalam acara ArtJog9, yang didukung
penuh oleh Bank Mandiri.
Namun paling tidak
kegiatan yang diselenggarakan pada MWIF, merupakan suatu langkah progresif
untuk mengikut sertakan para penulis sejagat. Yang ingin diusung dalam kegiatan
Festival, menurut pendapat pribadi penulis. Adalah mengajak semua masyarakat
untuk beralih tradisi oral ke tradisi literasi. Kebiasaan masyarakat umum
menggunakan budaya tutur daripada budaya menulis, memang sudah lama diwariskan
oleh para nenek moyang terdahulu. Dimasa-masa kecil, kita sering mendengarkan
tutur cerita dongeng dari orang tua. Biasanya mereka bercerita dimalam hari
sebagai pengantar tidur untuk anak-anaknya. Budaya tutur ini harus kita alihkan
menjadi budaya literasi, terekam dengan baik oleh sejarah dan akan dibaca oleh
generasi selanjutnya. Apa jadinya jika generasi terdahulu tidak mewariskan
bahan-bahan bacaan, seperti buku dan penerbitan yang mereka tulis. Apakah kita
masih akan mengenal sejarah masa lampau. Jangan sampai sejarah didominasi oleh
beberapa intelektual saja, kita harus berkontribusi mencerahkan masyarakat
dengan menuliskan sejarah,baik sejarah orang maupun sejarah kita sendiri.
Melalui kegiatan MWIF,
penulis berharap dapat membuat masyarakat sadar tentang pentingnya menulis.
EmoticonEmoticon