Saturday 18 June 2016

Bangun Budaya Literasi Melalui Kegiatan MWIF



Oleh: Ruslan
Penggiat Literasi

Suatu hari disaat saya menghadiri kegiatan Makassar Writters Internasional Festival (MWIF), yang dilaksanakan di benteng Fort Rotterdam 19-21 mei bulan lalu. Ada banyak aktivitas para penulis yang sedang berlangsung, mereka membuat forum-forum diskusi kepenulisan. Tentu saja kegiatan itu sangat ramai dikunjungi oleh warga Makassar, para pengunjung yang berdatangan dari berbagai kelas sosial masyarakat mencicipi hidangan lapak-lapak buku yang dibuka untuk dibaca secara gratis ditaman. Buku-buku berjejeran tersimpan dalam rak, kemudian dipajang rapi dengan dekorasi yang fleksibel, siapa saja yang datang dipersilahkan untuk membaca buku kesukaannya secara gratis. 

Sepanjang halaman benteng Rotterdam, hampir-hampir kita tidak melihat ada aktivitas kosong. Para pelapak sudah merancang agar halaman taman bisa digunakan sebaik mungkin. Selain stand buku novel terbaru yang dipajang, ada juga berbagai menu makanan khas yang disediakan panitia. Begitu anda datang mengunjungi standnya, anda akan langsung disambut dengan senyuman simpul dari gadis-gadis cantik yang menjaga stand. Ayu ia melangkahkan kakinya, sembari memperlihatkan pipi lesung dan hidung mancungnya. Sesaat aku teringat dengan sebuah filem kolosal yang pernah saya nonton bersama teman-teman diwaktu menjadi anak sekolahan dulu. Seorang gadis jepang berperawakan baik dan santun, ia menggunakan baju khas jepang “khimono” . eh kok malah ngawur ngomongin gadis jepang segala.

Ya,, nda apa-apa toh neng, sekali-sekali kan boleh yang penting jangan keseringan. Memang kalau bicara tentang seorang gadis cantik, konsentrasi lelaki selalu direcoki,, ada aQua.!
Stand buku tadi memiliki stok buku para penulis, ada diantara beberapa buku yang dipajang diatas rak buku. Sebuah novel Natisha yang ditulis oleh Khirsna Phabicara daeng Marewa. Ia asli orang Sulawesi selatan kelahiran Jeneponto, melanglangbuana ke Jakarta dan menjadi penulis dan sastrawan yang patut di ancungi jempol. Novel Natisha yang ia tulis berdasarkan pengamatannya selama 11 tahun. Ia meneliti sebuah mitos yang masih dipercayai oleh masyarakat di sulsel tentang Parakang. Menurut Khrisna Pabhicara parakang adalah sebuah cerita rakyat yang diceritakan secara terus menerus. Ia semacam hantu yang bisa menjelma seperti manusia biasa, dan bahkan ia juga bisa ada di antara kita. Sulit untuk membedakan parakang dengan kita, karena ia juga membaur seperti manusia biasa. Saya juga merasa sulit untuk menceritakan kisah dalam novel Natisha tentang parakang, lantaran background saya bukan dari sulsel dan ditambah saya belum membaca novel Natisha tersebut. 

 Pernah dalam sebuah dialog dengan Khrisna Pabichara mengenai isi Novel Natisha, beberapa jurus sudah ku persiapkan dari awal untuk bertanya seputar novel yang ia tulis. dan berharap diakhir diskusi ia dapat membagi novelnya secara gratis kalau-kalau ada peserta yang kritis terhadap novelnya. Namun harapan tinggalah harapan saja, akhirnya berulang-ulang tangan ini nakal dan menggedor-gedor jidat (tepuk jidat).
Memang perlu diancungi jempol kegiatan MWIF, berjalan dengan semarak. Selain itu datang juga para penulis dari mancanegara, mereka datang berpartisipasi untuk mengikuti festival buku internasional. Saya selalu membayangkan, teman-teman dijogja. Mereka sering membuat festival, baik itu festival buku, musik bahkan festival budaya. Ada banyak anak muda yang punya cara berpikir maju, jauh dari hal-hal yang sifatnya dekonstruktif. 

Mereka memobilisasi teman-temannya untuk membuat kegiatan yang bersifat membangun. Walaupun saya tidak pernah kejogja, tapi beberapa kali saya hubungi teman yang tinggal disana. Mereka mengatakan kalau jogja sering membuat event kegiatan dengan skala besar, dan selalu mengundang perhatian publik. Kota gede jogja, bukan saja terkenal dengan lingkungan pendidikan yang mumpuni, hampir semua mahasiswa dari berbagai daerah datang menimba ilmu disini. Tak terkecuali sayapun demikian, namun nasib berkehendak lain, akhirnya saya kuliah di Makassar. Kota jogja juga dikenal dengan daerah dengan skala Festival Budaya yang amat besar, baru-baru ini jogja sudah menyelenggarakan kegiatan ArtJog9. Sebuah pertunjukkan maha karya seni di tampilkan dalam acara ArtJog9, yang didukung penuh oleh Bank Mandiri.

Namun paling tidak kegiatan yang diselenggarakan pada MWIF, merupakan suatu langkah progresif untuk mengikut sertakan para penulis sejagat. Yang ingin diusung dalam kegiatan Festival, menurut pendapat pribadi penulis. Adalah mengajak semua masyarakat untuk beralih tradisi oral ke tradisi literasi. Kebiasaan masyarakat umum menggunakan budaya tutur daripada budaya menulis, memang sudah lama diwariskan oleh para nenek moyang terdahulu. Dimasa-masa kecil, kita sering mendengarkan tutur cerita dongeng dari orang tua. Biasanya mereka bercerita dimalam hari sebagai pengantar tidur untuk anak-anaknya. Budaya tutur ini harus kita alihkan menjadi budaya literasi, terekam dengan baik oleh sejarah dan akan dibaca oleh generasi selanjutnya. Apa jadinya jika generasi terdahulu tidak mewariskan bahan-bahan bacaan, seperti buku dan penerbitan yang mereka tulis. Apakah kita masih akan mengenal sejarah masa lampau. Jangan sampai sejarah didominasi oleh beberapa intelektual saja, kita harus berkontribusi mencerahkan masyarakat dengan menuliskan sejarah,baik sejarah orang maupun sejarah kita sendiri.

Melalui kegiatan MWIF, penulis berharap dapat membuat masyarakat sadar tentang pentingnya menulis.  


EmoticonEmoticon