Oleh: Suradin S,S
Mahasiswa Pasca Sarjana UNM
***
Elfisa begitulah anak itu dipanggil, kecil dan
lugu. Ia lahir dari pergumulan ruang dan waktu yang tak kenal kompromi, melawan
dan menantang kerasnya hidup. Tak sedikitpun nampak mimik wajah kecemasan
Elfisa, sesekali ia tersenyum teduh. Bahkan tak ada kesedihan yang terpancar di
wajahnya. Elfisa bahagia karna ia bisa bermain dibibir pantai, dengan pesona
pasir putih kelas atas. memang Elfisa sungguh berbeda dengan anak
seusianya. Tak jauh dari rumah Elfisa, hamparan lautan biru yang membentang
jauh, menciptakan gulungan-gulungan ombak besar yang indah, kadang sesekali
memecah keheningan. Lautan menjadi bagian penting dalam hidupnya. Tiada hari
tanpa main-main di pasir. Walau masih duduk dibangku sekolah dasar, namun
kecerdesannya membuat ibu gurunya merasa kagum kepadanya. Setiap hari Elfisa
selalu hadir lebih awal di sekolah.
Memang rumahnya tidak terlalu jauh dari
sekolah, hanya berjarak beberapa meter saja. Ia tinggal dengan neneknya setelah
ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu. Ia tidak
menyaksikan langsung bagaimna kedua orang tuanya diantar di tempat istrahatnya
yang terakhir. Kedua orang tuanya meninggal ketika terjadi kecelakaan beruntung
ketika mengungjungi keluarganya di kampung yang jauh. Pada saat itu, ia
tidak sempat ikut bersama kedua orang tuanya, karena terlalu asik bermain
di pinggir pantai dengan teman-teman se-usianya.
Sebagai anak pesisir, laut tidaklah menjadi asing
baginya. Sebab, setiap sore ia selalu menghabiskan waktunya bersama
kerang-kerang di laut sebagai teman bermainnya. Ia begitu menikmati harinya
yang cerah yang seolah tanpa beban dipundak. Masa kecil penuh bahagia. Sesekali
ia membantu neneknya mencari kayu bakar di ladang warga, di belakang kampung.
Mereka hanya tinggal berdua di gubuk yang tak layak di sebut rumah di pesisir
pantai. Rumah yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, diambil oleh saudara
bapaknya dan kemudian dijual. Ia praktis tidak memiliki warisan apapun
sepeninggal kedua orang tuanya. Namun ia tidak memikirkan itu semua.
Dibenaknya sebagai seorang anak, bagaimana hidup ini di jalani dengan ceriah
dan penuh kebahagian. Atau mungkin ia tidak mau tau bahwa semua itu terjadi dan
penting untuk dipersoalkan. Atau mungkin saja ia harus menunggu dewasa terlebih
dahulu untuk mempermasalahkannya, agar mendapatkan keringat kedua orang tuanya
dari apa yang mereka tinggalkan. Sudahlah aku tidak cukup waktu untuk
memperbincangkan itu semua. Jiwanya membanting. Yang penting besok sore aku
akan ikut berlayar bersama tetanggaku untuk mencari ikan di laut yang luas dan
kemudian dijual di pasar.
Ia sering bercerita kepada neneknya ketika ia
sesekali tidak berlayar mencari ikan di laut. Bahwa di laut, apa lagi dimalam
hari, ia selalu dengan sigap menangkap ikan dengan jaring, walaupun tubuhnya
cukup mungil dan masih seorang anak. Tetapi hal ini tidak membuatnya minder dan
patah semangat untuk terus belajar tentang perjuangan hidup sebagai anak
pesisir. Memang, ia menyadari anak seumurannya belum banyak diizinkan untuk ikut
berlayar menangkap ikan di laut, apa lagi di malam hari. Tetapi keseringan ikut
menangkap ikan di laut, memberikan cukup pengalaman baginya, yang mungkin saja
menjadi pengalaman berharga ketika ia dewasa nanti.
Walau begitu, ia jarang meninggalkan sekolahnya.
Sebab, neneknya selalu menasehati, bahwa sekolah itu penting. Memang terkadang,
ketika perahunya lambat bersandar di bibir pantai untuk membawa hasil
tangkapan, terkadang ia terlambat untuk hadir lebih awal di sekolahnya. Ibu
Halimah, selaku gurunya di kelas lima, cukup mengerti keadaanya. Dan bahkan Ibu
Halimah terkadang memberikan uang jajan kepadanya setiap pekan usai.
Ibu Halimah, tidak dia pandang hanya sekedar ibu
gurunya di sekolah, namun lebih dari itu. Sebab Ibu Halimah selalu perhatian
kepadanya ketimbang murid-murid yang lain. Ketika hal itu dia tanyakan, hanya
senyum dan elusan di kepalanya yang merupakan jawaban yang diberikan oleh Ibu
Halimah kepadanya. Ia bersyukur memiliki ibu guru seperti ibu Halimah yang
penuh perhatian kepadanya. Terkadang, ia juga biasa datang membawa ikan dan
udang ke rumah Ibu Halimah sebagai bentuk ucapan terimakasih. Namun, ia tidak
pernah pulang dengan tangan kosong sekembalinya dari rumah Ibu Hamilah. Sebab
ada saja yang diberikan oleh Ibu Halimah untuk kebutuhan dapur neneknya di
rumah, dan ia merasa senang akan hal itu.
Namun sayang bulan ini ia tidak bisa lagi melaut,
karena cuaca tidak bersahabat.
Angin dan ombak membating di pantai,
mengisyaratkan bahwa laut sedang marah dan mengamuk. Ia pun duduk termenung
sambil memandang Teluk Cempi yang sedang tak bersahabat bagi nelayan. Ia
coba menangkap lika liku masa depan yang penuh tantangan dengan tatapannya yang
kosong. Adakah kehidupan yang lebih baik yang menghampirikku di masa mendatang,
gumamnya. Ataukah aku akan terus menjadi anak pesisir dan terus mencarikan ikan
laut seperti nelayan yang lain. Sudahlah. Aku masih anak-anak, terlalu cepat
membayangkan masa depan, dan meski aku lakukan ialah menikmati dan menghibur
diri, dengan kehidupan yang bisa membuatku tersenyum. Biarkan waktu yang akan
menjawab semua impianku sebagai anak pesisir. Sebuah kampung yang cukup jauh
dari kota, namun tenang dari bisikan kendaraan, dibandingkan di kota-kota yang
kulihat di tv.
EmoticonEmoticon