Saturday 18 June 2016

Desa Jala: Cerita Anak Pesisir

Tags


Oleh: Suradin S,S
Mahasiswa Pasca Sarjana UNM
***
 
Elfisa begitulah anak itu dipanggil, kecil dan lugu. Ia lahir dari pergumulan ruang dan waktu yang tak kenal kompromi, melawan dan menantang kerasnya hidup. Tak sedikitpun nampak mimik wajah kecemasan Elfisa, sesekali ia tersenyum teduh. Bahkan tak ada kesedihan yang terpancar di wajahnya. Elfisa bahagia karna ia bisa bermain dibibir pantai, dengan pesona pasir putih kelas atas.  memang Elfisa sungguh berbeda dengan anak seusianya. Tak jauh dari rumah Elfisa, hamparan lautan biru yang membentang jauh, menciptakan gulungan-gulungan ombak besar yang indah, kadang sesekali memecah keheningan. Lautan menjadi bagian penting dalam hidupnya. Tiada hari tanpa main-main di pasir. Walau masih duduk dibangku sekolah dasar, namun kecerdesannya membuat ibu gurunya merasa kagum kepadanya. Setiap hari Elfisa selalu hadir lebih awal di sekolah. 

Memang rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya berjarak beberapa meter saja. Ia tinggal dengan neneknya setelah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu. Ia tidak menyaksikan langsung bagaimna kedua orang tuanya diantar di tempat istrahatnya yang terakhir. Kedua orang tuanya meninggal ketika terjadi kecelakaan beruntung ketika mengungjungi  keluarganya di kampung yang jauh. Pada saat itu, ia tidak sempat ikut bersama kedua orang tuanya, karena terlalu asik bermain di  pinggir pantai dengan teman-teman se-usianya.

Sebagai anak pesisir, laut tidaklah menjadi asing baginya. Sebab, setiap sore ia selalu menghabiskan waktunya bersama kerang-kerang di laut sebagai teman bermainnya. Ia begitu menikmati harinya yang cerah yang seolah tanpa beban dipundak. Masa kecil penuh bahagia. Sesekali ia membantu neneknya mencari kayu bakar di ladang warga, di belakang kampung. Mereka hanya tinggal berdua di gubuk yang tak layak di sebut rumah di pesisir pantai. Rumah yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, diambil oleh saudara bapaknya dan kemudian dijual. Ia praktis tidak memiliki warisan apapun  sepeninggal kedua orang tuanya. Namun ia tidak memikirkan itu semua. 

Dibenaknya sebagai seorang anak, bagaimana hidup ini di jalani dengan ceriah dan penuh kebahagian. Atau mungkin ia tidak mau tau bahwa semua itu terjadi dan penting untuk dipersoalkan. Atau mungkin saja ia harus menunggu dewasa terlebih dahulu untuk mempermasalahkannya, agar mendapatkan keringat kedua orang tuanya dari apa yang mereka tinggalkan. Sudahlah aku tidak cukup waktu untuk memperbincangkan itu semua. Jiwanya membanting. Yang penting besok sore aku akan ikut berlayar bersama tetanggaku untuk mencari ikan di laut yang luas dan kemudian dijual di pasar.

Ia sering bercerita kepada neneknya ketika ia sesekali tidak berlayar mencari ikan di laut. Bahwa di laut, apa lagi dimalam hari, ia selalu dengan sigap menangkap ikan dengan jaring, walaupun tubuhnya cukup mungil dan masih seorang anak. Tetapi hal ini tidak membuatnya minder dan patah semangat untuk terus belajar tentang perjuangan hidup sebagai anak pesisir. Memang, ia menyadari anak seumurannya belum banyak diizinkan untuk ikut berlayar menangkap ikan di laut, apa lagi di malam hari. Tetapi keseringan ikut menangkap ikan di laut, memberikan cukup pengalaman baginya, yang mungkin saja menjadi pengalaman berharga ketika ia dewasa nanti.

Walau begitu, ia jarang meninggalkan sekolahnya. Sebab, neneknya selalu menasehati, bahwa sekolah itu penting. Memang terkadang, ketika perahunya lambat bersandar di bibir pantai untuk membawa hasil tangkapan, terkadang ia terlambat untuk hadir lebih awal di sekolahnya. Ibu Halimah, selaku gurunya di kelas lima, cukup mengerti keadaanya. Dan bahkan Ibu Halimah terkadang memberikan uang jajan kepadanya setiap pekan usai.

Ibu Halimah, tidak dia pandang hanya sekedar ibu gurunya di sekolah, namun lebih dari itu. Sebab Ibu Halimah selalu perhatian kepadanya ketimbang murid-murid yang lain. Ketika hal itu dia tanyakan, hanya senyum dan elusan di kepalanya yang merupakan jawaban yang diberikan oleh Ibu Halimah kepadanya. Ia bersyukur memiliki ibu guru seperti ibu Halimah yang penuh perhatian kepadanya. Terkadang, ia juga biasa datang membawa ikan dan udang ke rumah Ibu Halimah sebagai bentuk ucapan terimakasih. Namun, ia tidak pernah pulang dengan tangan kosong sekembalinya dari rumah Ibu Hamilah. Sebab ada saja yang diberikan oleh Ibu Halimah untuk kebutuhan dapur neneknya di rumah, dan ia merasa senang akan hal itu.
Namun sayang bulan ini ia tidak bisa lagi melaut, karena cuaca tidak bersahabat. 

Angin dan ombak membating di pantai, mengisyaratkan bahwa laut sedang marah dan mengamuk. Ia pun duduk termenung sambil memandang Teluk Cempi yang sedang tak bersahabat  bagi nelayan. Ia coba menangkap lika liku masa depan yang penuh tantangan dengan tatapannya yang kosong. Adakah kehidupan yang lebih baik yang menghampirikku di masa mendatang, gumamnya. Ataukah aku akan terus menjadi anak pesisir dan terus mencarikan ikan laut seperti nelayan yang lain. Sudahlah. Aku masih anak-anak, terlalu cepat membayangkan masa depan, dan meski aku lakukan ialah menikmati dan menghibur diri, dengan kehidupan yang bisa membuatku tersenyum. Biarkan waktu yang akan menjawab semua impianku sebagai anak pesisir. Sebuah kampung yang cukup jauh dari kota, namun tenang dari bisikan kendaraan, dibandingkan di kota-kota yang kulihat di tv.


EmoticonEmoticon