Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen di UIN Alauddin Makassar
***
Pada mulanya adalah kekuasaan: ketika politik
mengepakkan sayapnya di arena publik, raja menjadi sang eksekutor dan
episentrum yang pejal. Belakangan, bentuk kerajaan menjadi negara, namun aktor
kekuasaan tetap. Penguasa, dengan begitu, menjadi penentu merah hitamnya nasib
dan paras rakyat. Amat beruntung rakyat yang memiliki penguasa adil dan bijak.
Dalam napas demokrasi yang mengandaikan trias
politica, eksekutif adalah eksponen yang mengeksekusi kebijakan publik. Pada
dirinya, melekat kewenangan yang amat besar bagi jatuh bangunnya bangsa. Maju
mundurnya negara, karena itu, sangat tergantung dari kepemimpinan eksekutif. Tapi, adakah kekerasan negara menjadi sesuatu yang
mungkin? Filsuf sosial Henri Lafebvre menjawab: mungkin, terutama ketika negara
menciptakan ruang perkotaan yang menyokong sepenuhnya kekuatan modal. Dalam The
Production of Space, Lafebvre mengandaikan peran pokok negara: mengatur “ruang”
sebagai productive force melalui investasi infrastruktur, perencanaan ruang,
kebijakan industri, dan juga soal keuangan. Di sini, ruang menjelma menjadi
percakapan utama dalam politik. Karena itu, negara akan selalu mengontrol ruang
sosial, deru industri, hingga konflik-konflik geososio-politik.
Kekerasan negara di perkotaan, bagi Lafebvre,
bibitnya tertanam dalam jantung kapitalisme, lalu dipraktikkan secara membabi
buta melalui proyek neoliberalisasi ruang perkotaan. Kita kini menyaksikan
ruang-ruang perkotaan mengalami privatisasi secara radikal di bawah tema-tema
progresif: keindahan kota, pembangunan infrastruktur, mall, hotel, kondomonium,
plaza, apartemen, dan seterusnya. Argumen privatisasi itu jelas: menciptakan
ruang perkotaan yang efisien untuk akumulasi modal, agar sirkulasi barang dan
jasa tidak terganggu.
Penggusuran paksa dengan kekerasan yang mengabaikan
hak-hak sipil, sosial-budaya, politik, dan ekonomi warga adalah metode yang
lumrah bagi negara agar akumulasi modal berjalan lancar. Di sisi yang gelap,
penggusuran justru menciptakan surplus populasi kapitalisme. Sebab, penggusuran
penduduk yang dipindahkan secara paksa akan kehilangan pekerjaan, alat
produksi, dan usaha-usaha swadaya milik mereka di tempat asal. Akibatnya
penggusuran ikut menyuplai tenaga kerja murah yang secara laten siap
dieksploitasi oleh kelas kapital.
Akhir-akhir ini, penggusuran seperti telah menjadi
peristiwa yang lumrah. Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta,
penggusuran justru dilakukan menjelang lebaran, di saat banyak para penghuni
tidak berada di tempat karena mudik. Fenomena paling anyar adalah penggusuran
tanpa hati nurani yang berlangsung di Penjaringan, Pasar Ikan Jakarta Selatan.
Tak banyak terdengar suara yang menjeritkan penderitaan mereka yang tergusur.
Kita masih beruntung, peristiwa penggusuran yang “mewabah” di Jakarta, mendapat
reaksi dan penolakan keras sejumlah intelektual semisal Saparinah Sadli,
Franz-Magnis Suseno, Toety Heraty, Yudi Latif dan kawan-kawannya. Jumlah
intelektual yang terlibat itu masih teramat kecil, alangkah baiknya, jika makin
banyak inelektual yang menjeritkan penderitaan rakyat itu.
Mengapa musti kaum intelektual? Mungkin, karena
politisi dan wakil rakyat yang seharusnya menjeritkan penderitaan itu bungkam.
Tapi, bukan karena alasan itu. Hal yang lebih fundamental, karena kaum
intelektual—dalam pendakuan Veclav Havel—adalah hati nurani bangsa. Patut
dicatat, bangsa bukan hanya yang miskin dan menderita, tapi juga yang kaya dan
berkuasa yang secara bersama-sama membentuk dan menopang tegaknya sebuah
negara.
Kepentingan yang lebih luas itulah yang jadi vision
kaum intelektual. Sebab—sebagaimana pendakuan Havel—intelektual adalah mereka
yang membaktikan hidupnya untuk kepentingan publik, dan melihat persoalan
masyarakat dalam perspektif yang holistik. Karena itu, seorang intelektual
mengandaikan cara pandang yang bervisi ke masa depan, berani memikul tanggung
jawab sosial yang menyeluruh, itulah panggilan profetik kaum intelektual. Itu
sebab, satu hal yang tak mungkin jika seorang intelektual mengidentifikasikan
dirinya dengan ideologi tertentu. Untuk menjalankan misi profetiknya,
karena itu, seorang intelektual sangat dekat dengan
ide humanisme, menjaga solidaritas masyarakat, dan setia terhadap perjuangan
hak asasi tanpa kekerasan. Justru karena posisi itu, tak mengherankan mengapa
seorang intelektual sering menjadi musuh dan penghalang bagi mereka yang
bersumbu gagas pendek dan terjebak pada kepentingan sesaat.
Dengan demikian, intelektual bukan semata kaum yang
setia pada penggunaan nalar positifnya secara luas, tapi juga terutama berpihak
pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Hal tersebut mengandaikan jika
intelektual bukanlah mereka yang hanya sibuk mengonstruk teori dan berkutat di
belakang meja, tapi mereka yang menggauli persoalan masyarakatnya.
Di titik ini, kita berhutang moral pada filsuf
Bourdieu yang mengandaikan tugas utama intelektual melakukan perlindungan
sosial kepada mereka yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik.
Atas dasar keprihatinan itu, Bourdieu meniupkan badai kritik terhadap
neoliberalisme dengan mendorong srgera melakukan welfare state secepat mungkin
dan memulihkan hak-hak sipil yang telah “dirampas” negara lewat tangan-tangan
neoliberalisme.
Itu sebab, ketika kaum intelektual menjeritkan anti
penggusuran, mereka bukan hanya membela rakyat yang miskin, tapi juga
memperingatkan secara tegas: bahwa bangsa ini secara total akan rontok, jika
mereka tidak lagi mempunyai nurani dan rasa “pacce” terhadap penderitaan yang
miskin.
EmoticonEmoticon