Saturday 18 June 2016

Negara, Kekerasan, dan Nurani Intelektual

https://makassarliterasi.blogspot.com/

Oleh: Mohd. Sabri AR
Dosen di UIN Alauddin Makassar
*** 

Pada mulanya adalah kekuasaan: ketika politik mengepakkan sayapnya di arena publik, raja menjadi sang eksekutor dan episentrum yang pejal. Belakangan, bentuk kerajaan menjadi negara, namun aktor kekuasaan tetap. Penguasa, dengan begitu, menjadi penentu merah hitamnya nasib dan paras rakyat. Amat beruntung rakyat yang memiliki penguasa adil dan bijak.

Dalam napas demokrasi yang mengandaikan trias politica, eksekutif adalah eksponen yang mengeksekusi kebijakan publik. Pada dirinya, melekat kewenangan yang amat besar bagi jatuh bangunnya bangsa. Maju mundurnya negara, karena itu, sangat tergantung dari kepemimpinan eksekutif. Tapi, adakah kekerasan negara menjadi sesuatu yang mungkin? Filsuf sosial Henri Lafebvre menjawab: mungkin, terutama ketika negara menciptakan ruang perkotaan yang menyokong sepenuhnya kekuatan modal. Dalam The Production of Space, Lafebvre mengandaikan peran pokok negara: mengatur “ruang” sebagai productive force melalui investasi infrastruktur, perencanaan ruang, kebijakan industri, dan juga soal keuangan. Di sini, ruang menjelma menjadi percakapan utama dalam politik. Karena itu, negara akan selalu mengontrol ruang sosial, deru industri, hingga konflik-konflik geososio-politik.

Kekerasan negara di perkotaan, bagi Lafebvre, bibitnya tertanam dalam jantung kapitalisme, lalu dipraktikkan secara membabi buta melalui proyek neoliberalisasi ruang perkotaan. Kita kini menyaksikan ruang-ruang perkotaan mengalami privatisasi secara radikal di bawah tema-tema progresif: keindahan kota, pembangunan infrastruktur, mall, hotel, kondomonium, plaza, apartemen, dan seterusnya. Argumen privatisasi itu jelas: menciptakan ruang perkotaan yang efisien untuk akumulasi modal, agar sirkulasi barang dan jasa tidak terganggu.

Penggusuran paksa dengan kekerasan yang mengabaikan hak-hak sipil, sosial-budaya, politik, dan ekonomi warga adalah metode yang lumrah bagi negara agar akumulasi modal berjalan lancar. Di sisi yang gelap, penggusuran justru menciptakan surplus populasi kapitalisme. Sebab, penggusuran penduduk yang dipindahkan secara paksa akan kehilangan pekerjaan, alat produksi, dan usaha-usaha swadaya milik mereka di tempat asal. Akibatnya penggusuran ikut menyuplai tenaga kerja murah yang secara laten siap dieksploitasi oleh kelas kapital.

Akhir-akhir ini, penggusuran seperti telah menjadi peristiwa yang lumrah. Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, penggusuran justru dilakukan menjelang lebaran, di saat banyak para penghuni tidak berada di tempat karena mudik. Fenomena paling anyar adalah penggusuran tanpa hati nurani yang berlangsung di Penjaringan, Pasar Ikan Jakarta Selatan. Tak banyak terdengar suara yang menjeritkan penderitaan mereka yang tergusur. Kita masih beruntung, peristiwa penggusuran yang “mewabah” di Jakarta, mendapat reaksi dan penolakan keras sejumlah intelektual semisal Saparinah Sadli, Franz-Magnis Suseno, Toety Heraty, Yudi Latif dan kawan-kawannya. Jumlah intelektual yang terlibat itu masih teramat kecil, alangkah baiknya, jika makin banyak inelektual yang menjeritkan penderitaan rakyat itu.
Mengapa musti kaum intelektual? Mungkin, karena politisi dan wakil rakyat yang seharusnya menjeritkan penderitaan itu bungkam. Tapi, bukan karena alasan itu. Hal yang lebih fundamental, karena kaum intelektual—dalam pendakuan Veclav Havel—adalah hati nurani bangsa. Patut dicatat, bangsa bukan hanya yang miskin dan menderita, tapi juga yang kaya dan berkuasa yang secara bersama-sama membentuk dan menopang tegaknya sebuah negara.

Kepentingan yang lebih luas itulah yang jadi vision kaum intelektual. Sebab—sebagaimana pendakuan Havel—intelektual adalah mereka yang membaktikan hidupnya untuk kepentingan publik, dan melihat persoalan masyarakat dalam perspektif yang holistik. Karena itu, seorang intelektual mengandaikan cara pandang yang bervisi ke masa depan, berani memikul tanggung jawab sosial yang menyeluruh, itulah panggilan profetik kaum intelektual. Itu sebab, satu hal yang tak mungkin jika seorang intelektual mengidentifikasikan dirinya dengan ideologi tertentu. Untuk menjalankan misi profetiknya,
karena itu, seorang intelektual sangat dekat dengan ide humanisme, menjaga solidaritas masyarakat, dan setia terhadap perjuangan hak asasi tanpa kekerasan. Justru karena posisi itu, tak mengherankan mengapa seorang intelektual sering menjadi musuh dan penghalang bagi mereka yang bersumbu gagas pendek dan terjebak pada kepentingan sesaat.

Dengan demikian, intelektual bukan semata kaum yang setia pada penggunaan nalar positifnya secara luas, tapi juga terutama berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Hal tersebut mengandaikan jika intelektual bukanlah mereka yang hanya sibuk mengonstruk teori dan berkutat di belakang meja, tapi mereka yang menggauli persoalan masyarakatnya.

Di titik ini, kita berhutang moral pada filsuf Bourdieu yang mengandaikan tugas utama intelektual melakukan perlindungan sosial kepada mereka yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik. Atas dasar keprihatinan itu, Bourdieu meniupkan badai kritik terhadap neoliberalisme dengan mendorong srgera melakukan welfare state secepat mungkin dan memulihkan hak-hak sipil yang telah “dirampas” negara lewat tangan-tangan neoliberalisme.

Itu sebab, ketika kaum intelektual menjeritkan anti penggusuran, mereka bukan hanya membela rakyat yang miskin, tapi juga memperingatkan secara tegas: bahwa bangsa ini secara total akan rontok, jika mereka tidak lagi mempunyai nurani dan rasa “pacce” terhadap penderitaan yang miskin.


EmoticonEmoticon