Oleh:
Saifuddin Al Mughniy
OGIE
Institute Research and Political Development
***
Ius summa ius humaniora
Keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri
Bukan mengadili tetapi bagaimana menemukan
keadilan.
Filosofi ini kalau dibenturkan dengan kondisi
politik Indonesia mungkin ada benarnya. Dizaman Orde Baru Soeharto menjadikan
politik sebagai panglima, akibatnya tidak sedikit yang tidak sepaham dengan pak
Harto disingkirkan. Tidak sedikit aktifis di culik, dan terbukti partai politik
yang dipelihara saat itu hanya tiga partai itu membuktikan bahwa rezim orde
baru menggunakan kekuasaan untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Hal ini
dapat dilihat betapa manajemen pemerintahan saat itu dikenal dengan konsep ABS
(Asal Bapak Senang). Semua perangkat pemerintahan dikendalikan oleh Soeharto,
sehingga demokrasi berjalan seadanya dengan titah demokrasi Pancasila.
Bahkan hal ini juga terjadi dimasa Orde Lama
bagaimana hukum itu di miliki oleh penguasa, dan tidak sedikit para penentang
kekuasaan ditangkap dan di penjara tanpa kesalahan. Seperti Buya Hamka di
penjara kurang lebih 28 tahun, hokum seringkali hanya dipahami sebagai ilusi
sebuah proses pengadilan yang berujung pada mengadili. Pengadilan sesungguhnya
harus mampu menemukan kebenaran, tetapi mengadili adalah satu bentuk tekanan
politik untuk mengakui yang salah menjadi benar dan benar menjadi salah.
Makanya tidak heran kalau kemudian hukum tajam
kebawah namun tumpul keatas (Prof. Baharuddin Lopa), makna kalimat tersebut
bahwa tajam kebawa karena proses hokum itu kalau yang di pidana orang miskin
maka sepertinya tidak ada konpromi, harus berjalan sesuai etika dan prinsip
hokum, tetapi tumpul keatas, karena proses penegakan hokum bagi kelompok elit
tentu mendapat perlawanan secara politis, sehingga terjadi kompromi dengan
jalan damai, tetapi harus dengan harga yang mahal. Menurut saya yang disebut
menggadai kebenaran di jalan gelap, sehingga Tuhan pun di cederai.
Proses penegakaan hukum tentunya kita apresiasi
dengan baik, sebab kalau hal ini tiak ditegakkan maka akan menimbulkan penyakit
Kleptokrasi atau mobokrasi di kalangan birokrat sehingga semua tindakan bisa
saja menjadi benar, sekalipun itu pelanggaran secara etik maupun estetik.
Lucunya, seorang nenek yang hanya mencuri singkong untuk memperjuangkan
hidupnya dengan seorang cucu tanpa rasa kemanusiaan di vonis oleh majelis
hakim.
Ada fakta persidangan yang seharusnya tidak di
lanjutkan pada tingkat kejaksaan, justru dipaksakan karena terjadinya
kongkalikong antara penegak hukum. Polisi sebagai penyidik tentu menjalankan
tugasnya sebagai aparat penegak hukum, jaksa adalah yang melanjutkan pada
proses persidangan, tetapi tidak sedikit kenyataan perkara itu tetap diteruskan
dengan dalih tekanan secara mental bagi penegak hukum, dan tekanan secara
psikologis bagi si korban atau pelaku, ini khan aneh, yang seharusnya harus di
konfirmasi lebih lanjut.
Namun dengan berbagai alasan,praduga tak bersalah lah
walau kemudian di duga bersalah.
Ironisnya lagi kasus korupsi yang menyebabkan
kerugian Negara justru sengaja terbiarkan, korupsi sapi impor, Hambalang yang
telah menyeret Andi Alfian Mallarangeng dengan Nasaruddin (mantan Bendahara
Umum Partai Demokrat), Angelina Sondakh (politisi Demokrat), dan beberapa orang
yang di duga terkait sampai saat ini tak tersentuh. Tentu alasannya cukup
sederhana karena mereka itu punya power politic yang kuat.nah, kalau begini
kejadiannya ternyata hukum masih tebang pilih. Delik-delik hukum itu begitu
ramai di permukaan media, kasus Mirna yang melibatkan Jessica, pelecehan
seksual Saiful Jamil, dan korban kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
misalnya yang dilakukan Ivan Hamzah (anak mantan Wakil Presiden Hamzah Haz yang
juga anggota DPR RI). Menurut saya semua indah dalam irama tetapi keropos dalam
lagu.
Kenapa demikian karena hukum telah tergadai di
jalan gelap, di mana para pengadil yang memainkan peran TUHAN menjual kebenaran
dengan harga yang mahal. Bagi si kaya tidak ada masalah sebab dengan membeli
dengan harga mahal itu diambil dari uang setan dimakan iblis, begitu tragisnya
kehdupan hukum di negeri ini.
Hukum adalah jalan lain untuk mengungkap kebenaran,
sementara Tuhan adalah sumber kebenaran, jadi kalau kebenaran terjual maka di
mana posisi TUHAN ?. katakanlah para penjual kebenaran pun juga pada akhirnya
masuk penjara Hakim Mahkamah Konstitusi M. Akil dengan kasus suap gugatan
pilkada, belum lagi pengacara senior O. C. Kaligis dengan kasus suap PTUN di
sumatera utara, ini membuktikan bahwa begitu murahnya kebenaran dan begitu
mahalnya kesesatan. Perilaku ini kemdian menjadikan hukum keropos secara naluri
walau secara teks begitu ideal.
KPK, sebagai lembaga pemberantasan korupsi sangat
diharapkan untuk bagaimana memainkan peran dan fungsinya untuk memberantas
korupsi di negeri ini sebab ada filosofi dari Eaton mengatakan seperti ini “
pastend to corrupt, corrupt and absolutely power corrupt” yang berarti “
birokrasi itu cendrung korup, dan kalau ia korup, pasti korup sejadi-jadinya”.
Berdasarkan adagium ini, tentu KPK butuh energi dan
spirit yang begitu besar untuk kemudian memberantas jalannya korupsi di negeri
ini. Bagaimana hebatnya Abraham Samad sebagai ketua KPK pada akhirnya
harus berhadapan dengan buaya besar untuk kemudian mencoba menghadang laju
gerakan Abraham Samad yang tetap komitment untuk menegakkan hukum di negeri
ini. Namun lagi-lagi, konspirasi politik kemudian dimainkan untuk menghentikan
semua itu. Kejadian ini sesungguhnya adalah karena mentalitas sebagian elitis
yang belum siap menegakkan hukum secara baik dan benar.
Diakhir tulisan ini saya ingin menyuguhkan sebuah
potret penegakan hukum yang berdasarkan nurani, di Mesir seorang guru yang
dilaporkan oleh orang tua siswa karena memukul anaknya di sekolah, suatu ketika
gelar kasus dipersidangan pun di mulai. Ada hal yang menarik dari sitasi sidang
tersebut sebab yang menjadi Majelis hakim saat itu adalah mantan siswa sang
guru tersebut, sang guru sama sekali tidak tau bahkan cendrung lupa siapa hakim
tersebut, namun dalam hati seorang hakim bergelayut rasa haru, sebab ia tau
bahwa sang guru tersebut adalah sosok guru yang mendidik dan penuh cinta, dalam
perasaan sang hakim ia meyakinkan dirinya bahwa sang guru ini memukul siswanya
bukan karena naluri kekerasan tetapi lebih pada naluri seorang pendidik.
Sidangpun berlanjut, hingga seorang Hakim
memutuskan dengan ucapan dengan mata berbinar-binar,ia mengatakan inilah hukum
yang seadilnya yang kutegakkan olehmu wahai guruku, sang guru pun tersenyum,
dan majelis hakim tersebut turun dari kursinya lalu mencium tangannya sang
guru. Fenomena ini sesungguhnya, bahwa hukum seharusnya harus dilandasi dengan
naluri bukan hanya sekedar menjerat, menghukum, mengadili, serta menyatakan
bersalah kepada seseorang. Walau memang kita butuh kekuatan hukum sebagai
samurai menegakkan keadilan. * semoga.
EmoticonEmoticon