Friday 24 June 2016

Wacana dan Kulturalisme


Oleh : saifuddin almughniy
OGIE Institute Research and Political Development
**

Artikel ini tentu sangat jauh berbeda dengan t-tema sebelumnya yang lebih enjoy dan sangat politis karena dasar pengamatannya di lihat dari realitas keseharian atas kegaduhan diarena panggung politik. Sekedar tulisan ini membawa kita ke sebuah tata kajian yang lebih progresif dan edukatif dengan analisis yang sedikit filosofis. Sekalipun memang hampir setiap perkara hidup menusia tak lepas dari dinamika yang mempengaruhinya. Diskursus atau yang lebih dikenal dengan wacana begitu banyak membantu dalam perkembangan kehidupan sosial. Bahkan sebagian orang hidupnya tak lepas dari perwacanaan, apakah itu karena ia membaca, mendengar atau menulis.

Wacana bukanlah barang sesembahan seperti batu, pohon, kepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi ia tak lebih dari suatu persentuhan makna-makna. Menyembah berhala wacana merupakan caraterbaik untuk bunuh diri. Hal ini kita bisa pertanyakan kepada Thomas Khun yang meluncurkan karya fenomenalnya ditahun 1962, The strucure og scientific Revolution.

Melalui tesis ini Khun menghajar positivisme yang sangat memberhalakan “kebenaran tunggal” (singel truth), pandangan ini di dasari bahwa semua menusia hanya sanggup menciptakan paradigma kebenaran bukan wajah kebenaran itu sendiri, Hanya bisa meraih fakta tetapi bukan realiitas. Thomas Khun yang mengibarkan konsep paradigma menjadi pisau antitesis paling tajam untuk menusuk pengetahuan “kebenaran obyektif” atau “wacana obyektif” atau kepada kaum positivis.

Sesungguhnya kebenaran obyektif itu tidak pernah ada yang ada hanyalah paradigma atau lebih dikenal dengan sebutan konsep wacana.  Sebab wacana tak lebih dari sebuah kesepakatan paham dalam sebuah komunitas masyarakat. Bahkan Karl Popper dan Ian G. Barbour juga menolak pemberhalaan kebenaran obyektif yang serba tunggal. Sebuah kritik yang menampar wajah “kebenaran obyektif” sebagai dasar kebenaran tunggal.

Oleh sebab itu, bila gagasan filosofis ini ditarik kedalam kerangka khazanah ke Indonesiaan, maka bisa disimak kontribusi Khun demikian besar. Salah satu ampak serius pemberhalaan wacana ditengah pluralisme ialah lahirnya sikap” under estimate, inferior dan negasi.orang yang berbeda dengan kelompok wacaa terentu  rentan diintimidasi sebagai”orang lain” yang absurd, sesat dan bermasalah.

Begitu pula dampak dari negasi  posistivisme yang berkecendrungan kafir-mengkafirkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Watak negasi ini sringkali muncul ditengah kelompok seagama yang sringkali menjustifikasi bahwa kelompok lain kafir dan sesat, bahkan lebih nyaris hadir dalam deru kaum beragama yang sangat primitif dengan efek mulai dari kekerasan imani sampai kepada kekerasan fisik.

Betapa negasi positivisme ini telah menghardik sebuah keyakinan beragama dengan menolak kelompok yang lainnya, misalkan ajaran Ahmadiyah, Lia Eden, Syi’ah dan golongan kepercayaan lainnya. Dan kalau ini ditarik dari tafsir ideologi maka sesungguhnya sudah melakukan pelanggaran, sebab terjadi intimidasi, ketidakbebasan, kemerdekaan, serta keyakinan menjalankan syariat agama sesuai kepercayaan dan keyakinan secara praksis runtuh dalam debut negasi positivisme ini.

Kemudian kalau halini ditarik dalam ranah kehidupan politik Indonesia sikap negasi positivis ini nampak kelihatan jelas dengan menyaksikan fragmentasi yang dimainkan, dengan gaya sikut menyikut, saling fitnah, saling mnjatuhkan satu sama lain, mereka ingin memenangkan wacana obyektifnya dimana orang lain dipaksa untuk meyakini konsep pemberhalaan wacana yang dia inginkan. Padahal, republik ini menganut paham demokrasi konstitusional Pancasila yang begitu menghormati dan menghargai konsep TRIAS POLITIKA.

Bahkan contoh-contoh nyata dalam kehidupan politik kita, dipertontonkan bagaimana problem bangsa ini dipantik oleh tradisi berfikir positivistik yang seringkali memberhalakan wacana (discourse). Tentu masalah seperti korupsi, berbelitnya birokrasi, pencitraan politik, black campaign, suap menyuap, mafia hukum buan berarti tidak terlalu penting dibandingkan dengan perkara Paradigmatik,sebab semua masalah itu adalah grand problems yang sepatutnya kita soroti, di analisis, dan dipikirkan secara bersama. Tetapi perkara paradigmatik harus di dorong dalam rangka menemukan esensi dari sebuah permasalahan yang dihadapi.

Mungkin sebagian kita akan melakukan gugatan terhadap statement Khun itu, bukankah kita menganggap benar sebuah wacana, lalu menganutnya sebagai prinsip hidup, merupakan hukum alam “ ke-eksistensi-an manusia” . Memang sepatutnya manusia hidup dalam suatu pemahaman ideologi yang diyakininya baik itu secara Teologis maupun antropologis.

Bahkan sejalan dengan itu Socrates mengungkapkan “ Hidup yang tidak direnungkan, sungguh bukanlah hidup yang layak dihuni” hal ini dapat kita petik satu himah dari pesan bijak tersebut bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan, kemuliaan dan kebaikan hidup maka manusia selayaknya harus berhenti sejenak untuk melakukan perenungan demi melanjutkan kehidupannya kearah yang lebih baik. Inilah makna-makna secara simbolik untuk dijadikan kunci tanpa harus menafikkan pesan-pesan sosial lainnya. 

Dan harus dipahami bahwa ada perbedaan yang paling mendasar untuk melihat demarkasi antara epistemologis (knowledge) dan aksiologis (perilaku) dalam memantik sebuah kesadaran kebenaran wacana sebagai sesuatu yang diyakini dalam problem hidup manusia. Ini nyaris ternafikkan mengingat kerasnya paham positivisme ke ranah dunia akademik dan keilmuan manusia. 

Bukan tidak mungkin kesadaran ini akan membawa manusia untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Positivisme yang digagas dalam kerangka pengetahuan manusia justru terjebak pada fragmentasi negasi yang telah meniadakan nilai etika sosial, manhaj sosial, pranata sosial yang selama ini dianggap sebagai aturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan antar masyarakat.

Pemberhalaan wacana pada akhirnya akan menggiring manusia pada etape “menghardik eksistensi kebenaran” sebab berhala ini akan memaksa seseorang untuk memilih jalan hidup yang bertentangan dengan si pemberhala. Maka wacana yang diharapkan adalah wacana yang dapat menjadi pembanding sekaligus penyeimbang nilai sosial agar tidak terjebak pada sikap intimidasi atas kebenaran yang ada. Paling tidak wacana yang terangkat minimal dapat memberikan pengaruh terhadap filterisasi atas realitas yang ada, sehingga masyarakat lebih paham atas segala problematika sosial yang ada disekitarnya.
**Insya Allah**


EmoticonEmoticon