Monday 20 June 2016

Politik “Darah Biru” dan Paras Demokrasi

Tags



Oleh Mohd. Sabri AR

Rasialisme adalah sebilah anomali dalam sejarah kekuasaan. Jejaknya, antara lain terpatri pada detak jantung kesadaran bangsawan Castille Spanyol yang menemukan anggitan “darah biru” (sangre azul), sebuah pengandaian yang merujuk pada warna biru yang tersembul dari pembuluh-pembuluh darah wangsa Castille. Sangre azul, sejak itu menjadi petanda keunggulan, klaim, dan juga pembeda: agar darah biru wangsa Castille tetap asli dan tidak bercampur dengan darah “nista” bangsa Moor dan Yahudi. Di rentang babakan sejarah itu pula “darah biru” menjadi jubah keagungan para raja yang mengusung kekuasaan monarkhi-aristokratik.

Konsep sangre azul mengandaikan kehadiran sosok pemimpin-panutan, yang dalam  pendakuan antropolog Clifford Geertz diperlakukan sebagai “pusat kepatutan” (exemplary center). Paham tentang pemimpin-panutan sangat mungkin berakar dari masa aristokrasi, ketika hubungan patron-klien menjadi paradigma dominan relasi-relasi sosial. Di titik ini, mereka yang dianggap pemimpin dengan sendirinya menjadi model bagi perilaku orang ramai atau rakyat. Ungkapan Prancis noblesse oblige merupakan warisan dari masa aristokrasi, yang percaya jika status sosial seseorang yang lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih kompleks, termasuk dalam hal kewajiban teladan hidup. Di sini, pemimpin diandaikan lahir dari kaum bangsawan-aristokrat.

Namun paham noblesse oblige belakangan dilumat oleh gelombang revolusi Prancis pada 1789, menyusul ide demokrasi yang mengusung gagasan persamaan semua orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama, dalam kondisi yang sama, mesti dihukum dengan hukuman yang sama, walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda. Dengan begitu, demokrasi mengandaikan adanya persamaan dalam hal moralitas di antara setiap orang, namun dalam formula negatif: orang-orang dengan kebajikan yang jamak, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, terutama ketika mereka menggengam kekuasaan. Akibatnya, asas noblesse oblige dirontokkan oleh prinsip power tends to corrupt: kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap bangunan kekuasaan.

Demokrasi, karena itu, mengubah paras politik kekuasaan dari sistem aristokrasi yang mengandaikan kedaulatan di “tangan raja” dan darah biru sebagai jiwanya ke kedaulatan di “tangan rakyat”. Ide inilah yang dianut oleh hampir semua negara yang memeluk sistem demokrasi. Pergeseran tersebut juga terlukis kuat dalam napas sejarah yang menandai proses transmisi kekuasaan politik di Indonesia dari sistem kekuasaan raja-raja di Nusantara ke sistem republik yang mengandaikan kedaulatan politik di tangan rakyat. Sejak itu, kehidupan demokrasi di tanah air mengalami pasang surut.

Jika kita melihat dengan amatan sedikit mendalam pada catatan demokrasi di Indonesia sejak 1998 akan tampak gambaran yang lebih kompleks: meskipun tak ada kesangsian bahwa negara ini sudah mencatat kemajuan luar biasa sejak berakhirnya era pemerintahan otoritarian serta layak dipuji karena memiliki pemerintahan baru yang terpilih secara demokratis, namun catatan-catatan belakangan ditandai oleh serangkaian stagnasi bahkan di area tertentu mengalami distorsi akut.

Hal yang terakhir menunjuk pada sebuah gejala bahwa diskursus darah mulai memasuki tahapan serius dalam paras perpolitikan kita. Apa artinya wacana “darah biru” atau politik “dinasti” dalam politik Indonesia? Jika “darah biru” merujuk pada darah Castillian, maka ini jelas lonceng kematian bagi masa depan demokrasi.

Ketika darah telah menjadi paras luar perpolitikan Indonesia, maka ada dua pesan yang hendak diungkapkan: pertama, terjadi anomali dalam kehidupan politik kita, kedua, persaingan menuju lingkaran elit kekuasaan adalah sesuatu yang elok tapi juga mencemaskan. Kehadiran partai-partai politik lebih sebagai agen aktus politik yang monoton dan membosankan, menyusul kian gemuruhnya diskursus darah yang kian membiru di panggung politik.

Diskursus “darah biru” dengan begitu, secara esensial menghalau pergerakan alami sirkulasi elite. Sebab, diskursus ini hendak menegaskan satu hal: bahwa manusia lahir tidak sama--khususnya dalam hal darah--yang berdampak pada kepatutan berkuasa. Sebuah pandangan yang justru telah terkubur beriringan terbentuknya republik tercinta.

Angin sejarah berembus dan menjadi saksi, diskursus “darah biru” tidak pernah sukses untuk mempersatukan, kecuali dengan jalan-jalan kekerasan dan dehumanisasi. Itu sebab, ketika terbit wacana kemungkinan organisme negara menjadi wadah untuk menghidupkan kembali “darah biru” dalam sistem demokrasi kita, tidak saja merupakan pandangan yang sesat pikir tapi juga memudarkan paras demokrasi. Di titik ini, wacana yang berikhtiar meletakkan seorang “bupati” sebagai “raja” di alam demokrasi adalah ide naif, suram, dan juga menggelikan. Sebab, darah demokrasi tidak berwarna biru, bung!


EmoticonEmoticon