Disadari atau tidak, kematian
gerakan mahasiswa dalam melakukan kritik sosial keummatan disebabkan sudah
terbunuhnya paradigma pendidikan yang mencerahkan dan memerdekakan. Secara
teoritik Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan
pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Sehingga dalam konteks
ini mahasiswa memang diciptakan sebagai komunitas yang dipandang sebagai
kekuatan intelektual dan berkesadaran kritis. Label gerakan mahasiswa yang dari
dulu senantiasa dilekatkan sebagai kelompok agen of change karena
mahasiswa dan gerakan mahasiswa dipahami sebagai gerakan kritis, obyektif,
berani menanggung resiko dan merdeka dari kepentingan penetrasi golongan elit,
rezim ataupun kepentingan kepartaian. Idealisme, pada diri mahasiswa berkobar
sebagaimana bara api yang siap menghanguskan terhadap musuh yang mengganggu
terhadap keyakinan yang mereka teriakkan.
Mahasiswa dipandang sebagai kekuatan
pemuda yang masih netral, lugu, bersih dan terbebaskan dari
kepentingan-kepentingan kekuasan. Makanya sangat wajar ungkapan yang
dikemukakan Soekarno, “berikan aku sepuluh pemuda, maka saya akan merubah
dunia!. Sedemikian percayanya Soekarno atas kekuatan pemuda dan mahasiswa
sehingga kalau kita membaca teks-teks pidato revolusionernya, terlihat jelas
bahwa Soekarno merupakan pribadi yang paling akrab dengan pemuda. Pesan
pidatonya mendukung jiwa-jiwa perlawanan mahasiwa, dan konon akhir karir
politiknya juga karena kekuatan para kelompok kritis demonstran mahasiswa.
Idealisme dan Jargon-jargon perubahan inilah yang membanggakan kita sebagai
mahasiswa bahkan seringkali sampai detik ini kita elu-elukan secara heroik
untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru.
Menjadi pertanyaan yang sangat
mendasar ketika mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini menjadi komunitas
penakut, tidak bisa berteriak lantang, atau membiarkan kelaliman-kelaliman oleh
rezim dan birokrasi terus menerus terjadi. Bahkan yang tragis lagi, mahasiswa
dan gerakan mahasiswa saat ini semakin jauh dari kerja-kerja advokasi sosial, keberpihakan
sosial serta ironisnya mereka kini lebih banyak menjadi corong dari
kepentingan-kepentingan elit. Sehingga suara kritis dan perlawanan mahasiswa
menjadi sumbang dan serak karena positioningnya sudah terbeli dan tergadaikan
pada kepentingan para elit rezim.
Menurut saya, inilah titik
kehancuran mahasiswa dan gerakan mahasiswa dimana sudah tidak terbangun atas
idealisme kritis pemihakan keadilan dan kemanusiaan universal kecuali atas
kepentingan material kekuasaan dan menjadi pembenar terhadap kepentingan elit
rezim. Suara kritis dan perlawanan total mahasiswa yang dulu diharapkan
masyarakat, saat ini cenderungnya menjadi tawa geli karena gerakan mahasiswa
dalam pola kritis perjuangan sosialnya tidak lagi membumi dan sesuai dengan
denyut suara hati masyarakatnya.
Perubahan mendasar orentasi
mahasiswa dan trend gerakan mahasiwa saat ini, menurut saya disebabkan sudah
terkonstruksinya sistem kehidupan sosial mahasiswa pada kebudayaan material
kapitalisme global. Dimana kapitalisme global dengan kekuatan modernisasi dan
globalisasi mendesakkan spirit atas proyek instanisasi, kompetisi kekuasaan
ekonomi serta mendesakkan atas arus sekularisasi dalam berbagai aspek
kehidupan. Kehidupan sosial kemudian menjelma menjadi kekuatan kepentingan
ekonomi sehingga konstruksi sosialnya melahirkan manusia ekonomi (homo
economicus) dan cenderungnya menghalalkan segala cara termasuk menjual
belikan terhadap idealisme demi kepentingan-kepentingan materialnya.
Dalam istilah ilmu hukum produk
sistem yang demikian akan melahirkan manusia-manusia serigala (homo homini
lupus) yang dalam kehidupannya hanyalah terbangun atas paradigma
kepentingan praktis, individual, paragamatis dan melupakan aspek-aspek
tanggungjawab lingkungan sosialnya.
Sebenarnya kita sangat berharap
bahwa pendidikanlah yang akan memberikan pencerahan dan kesadaran kritis
terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa, terkait peran dan tanggungjawab
sosialnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa hakekat
pendidikan bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk
membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen
adalah bagaimana nilai-nilai moral yang ditanamkan pendidikan tersebut mampu
berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya dan ekonomi. Dalam
konteks perubahan sosial pendidikan merupakan muara dari percepatan perwujudan
cita-cita keummatan karena pendidikan merupakan media tranformasi kritis
pencerdasan dan pencerahan sosial. Makanya sangat cocok awalnya menempatkan
mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dinamisator yang mampu
mendorong secara radikal perubahan-perubahan sosialnya baik pada tingkatan
negara ataupun pada tingkatan kampus.
Kalaupun kita membaca ulang teks-teks
sejarah betapa perubahan bangsa ini tidak bisa melepaskan sama sekali dari
peran dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa, misalkan awal perjuangan
kemerdekaan dari kolonial dimana letupan perlawanan diteriakkan oleh mahasiswa
dan kaum terpelajar meliputi Soekarno, Hatta, Syahrir Wahid Hasyim dan
kawan-kawan, Penurunan Soekarno sendiri yang diteriakkan mahasiswa, peristiwa
Malari tahun 1974, Perlawanan terhadap NKK/BKK tahun 1978, Penentangan terhadap
pemaksaan asas tunggal pancasila tahun 1983-1985, dan masih hangat diingatan
kita peristiwa reformasi 1997-1998 yang juga merupakan puncak letupan
kegelisahan dan perlawanan mahasiswa terhadap rezim yang diktator, otoritarian
dan tidak memanusiakan manusia. Elemen mahasiswa dan gerakan mahasiswa harus kita
sadari merupakan poros perubahan karena keberadaannya merupakan elit
intelektual yang dunianya dipenuhi dengan pengetahuan, keilmuan, buku-buku
ataupun tradisi diskusi kritis yang secara sadar atau tidak mempengaruhi
terhadap bangunan karakter keterpanggilannya untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut pengamatan saya, dalam
sejarah kebangsaan dari dulu sampai era modern ini, mahasiswa merupakan salah
satu kelompok yang sangat ditakuti oleh rezim sehingga dengan berbagai upaya
dan strategi, rezim mencoba melakukan penetrasi terhadap mahasiswa dan gerakan
mahasiswa. Misalkan peristiwa munculnya kebijakan NKK/BKK tahun 1978 dan
kewajiban menggunakan asas tunggal pancasila tahun 1985 tidak lain merupakan
fenomena pembunuhan rezim terhadap perlawanan dan kekritisan gerakan mahasiswa
yang terus menerus menggerogoti terhadap kelaliman-kelaliman kebijakan rezim.
Kita tahu pada waktu itu, rezim orde
baru untuk membunuh kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa melakukan
intervensi terhadap birokrasi kampus dengan menjadikan lembaga pendidikan
berada di bawah koordinasi Menteri Pendidikan pemerintah dan sengaja membuat
bidang kantong dalam birokrasi kampus untuk mengawasi gerak-gerik mahasiswa,
seperti kalau di setingkat universitas dibentuk rektoriat bagian kemahasiswaan
dan ranah fakultas dibentuk bagian Dekanat urusan kemahasiswaan. Bidang-bidang
inilah dahulu yang mengangkangi kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa
sehingga sangat mudah pada waktu itu rezim orde baru meminta informasi dan
melakukan pemantauan. Untuk memenuhi keinginan pemerintah, birokrasi kampus
kerapkali memperingatkan sangat keras bagi aktifis mahasiswa yang seringnya
berdemonstrasi, melawan terhadap otoriterianisme pemerintah dan salah satu
strategi jitu orde baru dibuatlah kebijakan yang mencoba memperketat
perkuliahan dan kewajiban-kewajiban yang memaksa mahasiswa untuk tidak terlibat
dalam ranah gerakan sosial. Secara otomatis totalitas aktifis mahasiswa
melakukan perjuangan dan tranformasi keummatan terbunuh secara lambat laun.
Mahasiswa yang kritis dan kreatif
dipaksa untuk menjadi robot yang pekerjaannya mendengar ceramah di kelas, kost,
belajar, ikut ujian,kampung, cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan yang
mapan. Sistem pendidikan yang seperti ini tidak lain merupakan proyek instan
dan pragmatis yang sengaja didesakkan oleh negara kapitalis global, dimana
mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan individu-individu dalam
negara-negara berkembang sebagai buruh dan budak di rumah sendiri. Karenanya,
disadari atau tidak inilah dunia pendidikan yang dehumanistik dan membunuh
terhadap proyeksi perwujudan peradaban universal kedepan. Serta pendidikan yang
tidak orentatif pencerahan ini hanyalah mengantarkan peserta didik pada
pengusaan pengetahuan an sich dan melepaskan dari aspek-aspek etika sosialnya
berupa tanggungjawab untuk mewujudkan tatanan yang berkeadilan dan
berkamanusiaan.
Perihal ini juga yang digelisahkan
oleh Ali Syariati bahwa cita-cita Islam bukanlah mencetak manusia ilmuan
sebagaimana dalam tradisi barat yang sekuler dan memisahkan keberadan agama dan
ilmu tetapi menegaskan mencetak manusia intelektual yang mampu menempatkan
pengetahuannnya sebagai pembebasan sosial masyarakat dari segala bentuk tirani
dan diktatorian. Seorang intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati
merupakan komunitas yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap
aspirasi masyarakatnya dan memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan
yang berkembang. Pada dasarnya kegiatannya tidak didasarkan pada tujuan dan
kepentingan praktis kekuasaan tetapi mereka dalam kapasitas intelektualnya
membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam mempraktikkan seni atau ilmu
pengetahuan.
tulisan ini pernah dimuat
sebelumnya, di blog pribadi penulis. dibagikan disini untuk sekedar berbagi.

EmoticonEmoticon