Oleh : Saifuddin Al Mughniy
OGIE Institute Research and Political Development
Saat ini kita tidak sedang mengacak-acak teori demokrasi
lalu kemudian mengkambing hitamkan politik. Tetapi kita sedang mencoba
membincangkan maslaha politik dalam ruang Agama dan Demokrasi. Sebagian orang
sudah memposisikan dirinya dalam skema politik yang disebut kaum liberalis dan
kapitalis yang mencoba memposisikan agama diluar nalar politik dan negara.
Dan
tidak sedikit kalangan intelektual maupun kelompok agama membenarkan hal
demikian, dengan satuasumsi bahwa agama hanya berurusan dengan akhirat
sementara politik berurusan dengan dunia.
Pemisahan konsep tersebut kemudian yang disebutdengan
sekulerisme. Sebuah catatan kecil sejarah dimasa lalu di tahun 1924 jatuhnya
khilafah Islamiyah di Turki dengan pemerintahan sekuler Kemal Mustafa Attaturk,
negara Turki berubah secara drastis mengikuti perkembangan Eropa yang serba
sekuler, liberalis dan kapitalis. Agama kemudian mengalami alienasi
(terpinggirkan), sebab mereka memandang agama tak lebih dari sebuah “mitologi”
dimana manusia beragama karena hanya daya takut terhadap masa depan, sehingga
menjadikan agama sebagai pelarian.
Kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme merambah kehidupan
masyarakat Islam saat itu. Walau memnag kalau kita mengkaji secara mendalam,
Karl Marx (sosiolog), dengan adagiumnya yang sangat populer the religion of
ovium, yaitu agama tak lebih sebuah candu atau sampah ditengah masyarakat.
Statement ini kemudian menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kalangan dewan
gereja. Namun sebenarnya bahwa pernyataan ini secara kontekstualisasi ada
benarnya, sebab saat itu kelompok agama hanya sibuk beribadah tanpa harus
merespon kondisi masyarakat yang penuh dengan penindasan, kezaliman, dimana
para pekerja burudiperlakukan sebagai mesin produksi tanpa kemerdekaan.
Inilah kemudian membuat Marx berontak, tentu pesan moralnya
yang dapat kita tangkap adalah bahwa ingin mengembalikan posisi agama yang
sesungguhnya. Islam tentunya sangat mengajarkan yang disebut dengan Hablum
minallah wahablum minannas yang artinya agama itu berdimensi ada hbungan kepada
Tuhnnya dan hubungan kepada manusia lainnya.
Itu artinya agama tidak lalu
berdiri sendiri sebagaimana kaum sekulerpahami. Agama adalah sebuah ajaran
universal yang berisikan semua hal tentang kehidupan manusia baik itu perkara
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, pertahanan keamanan, semua
tergambar secara jelas dalam paham agama-agama.
Namun kondisi sekarang tentu berbeda dengan sejarah masa
lalu, agama hari kalau kita bisa sepakat jauh terpinggirkan dalam semua
segmentasi kehidupan politik. Sepertinya agama hanya sebatas di “mimbar”
padahal tujuan agama dilahirkan adalah untuk kemaslahatan ummat manusia tanpa
terkecuali. Walau perkara ideologi seringkali menjadi selimut tebal untuk diangkat
dari permukaan lalu kemudian meluruskan pemahaman politik dalam dimensi agama.
Agama tidak boleh lartu dalam kerangka dakwah saja, tetapi
agama juga diwajibkan untuk melakukan upaya transformasi ajaran ditengah
masyarakat. Agama yang tak mengenal waktu untuk itu, sementara politik mengenal
waktu untuk itu. Maksudnya agama yang tidak terbatasi untuk melakukan
transformasi sementara politik hanya hadir disaat kepentingan. Walau tidak
sedikit juga menjual agama demi kepentingan politik.
Faktapolitik mislanya yang terjadi di Jawa Tengah di Pemilu
Legislatif ahun 2009 yang silam, seorang calon pada proses kampanye
menyumbangkan gendang rabbana,karpet dan memasang paving blok menuju mesjid,
namun setelah diketahui calon tersebut kalah dan tidak masuk anggota DPRD, maka
secara langsung meminta kembali apa yang pernah disumbangkannya. Ini adalah
contoh ecil lemahnya kesadaran berpolitik dan beragama, sehingga tindakannya
keluar dari frame agama maupun politik itu sendiri.
Oleh sebab itu, agama harus mampu menjadi kontrol dalam
kehidupan berdemokrasi, sekalipun fakta hari ini tidak sedikit anggotadewan
yang korupsi dari kalangan ang paham agama dan paham politik. Tetapi bukan
berarti seseorang beragama juga korupsi, hanya saja secara individualmereka
adalah orang-orang yang paham akan agama.
Mirisnya lagi kalau kemudian disaat kampanye, balutan calon
penuh dengan simbol-simbol agama, tetapi setelah terpilih terkadang
simbol-simbol itu hilang ditelan alur kekuasaan. Sehingga paling tidak tulisan
ini dapat memberikan perenungan bagi kita dimana posisi agama yang sesungguhnya
dalam politik, begitu pula sebaliknya posisi politik dalam agama. Kalau
keduanya sudah jelas dalam terminnya maka politisi bukan lagi membangun
imperium kekuasaan tetapi mereka harus membangun imperium peradaban. (***)
semoga, Aamin.
EmoticonEmoticon