Oleh: Mohd. Sabri AR
Ide atau gagasan ibarat sebilah puisi—ia hadir menyapa
kita mula-mula lewat nadanya. Tapi Hannah Arendt, tidak hanya hadir sebagai
nada namun juga pesona dalam galaksi pemikiran filsafat politik. Bagi Arendt,
politik tak cukup sebagai gagasan, ideologi, atau pun teknik, tapi sebuah
“tindakan”.
Sebagai pemuka pemikir politik, Arendt tak sedikit
mendapat pengaruh dari penalaran Aristoteles, juga napas
fenomenoligik-eksistensial Jaspers dan Heidegger. Di fajar abad ke-20 kita
menyaksikan kehadiran sederetan pemikir yang menghiasi horizon politik,
sebutlah: Raymond Aron, Eric Voegelin, Leo Strauss, Carl Schmitt, dan
seterusnya yang seluruhnya laki-laki. Arendtlah, salah satu filsuf perempuan
berpengaruh yang lahir di kalangan mereka.
Arendt secara eksplisit membedakan tiga jenis hirarki
kegiatan manusia dalam kehidupan: kerja, karya, dan tindakan yang disebutnya
Vita Activa. Jika yang pertama lebih pada pemenuhan kebutuhan bilogisnya, kedua
adaptasi-cipta manusia terhadap semesta, yang terakhir lebih pada kemampuannya
mengungkapkan diri dalam kehidupan publik.
Tindakan—demikian pendakuan Arendt—membutuhkan
keberadaan ruang publik, di atas mana kehadiran akan ýang lain’ mutlak
dibutuhkan. Dengan ungkapan lain, tindakan membentuk ruang publik, sebaliknya ruang
publik memungkinkan manusia untuk ‘bertindak’.
Sejatinya konsep ini diadopsi Arendt dari sistem
"polis" Yunani-Antik di mana kehidupan publik menempati hirarki
terpuncak. Polis membentuk manusia sebagai bios politikos dengan “tindakan”
(praxis) dan pengungkapan diri lewat komunikasi intersubyektif (lexis) sebagai
ciri pokoknya. Arendt juga mengandaikan, pembentukan ruang publik meniscayakan
ruang privat yang tanpanya kehidupan bersama yang jamak dan kemampuan manusia
untuk ‘bertindak’, mustahil tercipta. Di titik ini, Arendt menyebut ruang
privat sebagai ‘yang sosial’ dan membedakannya dengan ruang publik sebagai
‘yang politis’.
Maka searah dengan pikiran Arendt, polis dalam
masyarakat Yunani-Antik, atau res publica dalam masyarakat Romawi-Kuna—terutama
berfungsi menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan dalam
kehidupan individualistik. Dengan begitu, polis atau res publica (“republik”
dalam pengertian Arendt) merupakan benteng terakhir manusia dari berbagai
isolasi dan alienasi yang mengepung hidupnya.
Res publica (‘yang publik’), bagi Arendt, adalah
bentuk ideal dari suatu negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu kesatuan
politis yang menjamin keberadaan ruang publik. Negara-bangsa sebagai “republik”
dengan demikian mutlak menciptakan dan merawat kehidupan yang aneka.
Dalam res publica, kemampuan manusia untuk ‘bertindak’ dijamin, dan tidak
terkooptasi manusia lainnya. Pada konteks inilah negara-bangsa sebagai res
publica bisa berperan membantu menciptakan suatu identitas tertentu dalam
kemampuannya melakukan suatu tindakan, khususnya ‘tindakan’ politik.
Selain itu, res publica—yang sedianya dimaksudkan mengurai aneka kepentingan di antara anggota komunitas—secara masif kehilangan fungsi politisnya. Akibatnya, ruang privat (‘yang sosial’) yang mendominasi kehidupan secara keseluruhan. Terjadi privatisasi dalam segala dimensi kehidupan publik, yang pada urutannya meluncur ke dalam suatu kehidupan layaknya sebuah sistem kekeluargaan dan kekerabatan. Bagi Arendt, keadaan itu menjelmakan sistem yang sifatnya non-politis atau bahkan anti-politis. Dan di titik ini, sebuah negara-bangsa mengalami kerapuhan.
Dengan tidak mampunya negara-bangsa memainkan peran
sebagai pembentuk ruang publik yang memungkinkan manusia melakukan tindakan
politis, maka negara-bangsa tak lebih dari ruang privat yang diperluas atau
rumahtangga dalam skala besar. Inilah yang oleh Arendt disebut sebagai
"oikia.".
Oikia, yang telah menihilkan ruang publik, pada
urutannya melahirkan “negara-keluarga” “kekuasaan-dinasti” atau “negeri-kaum
bos”. Negara tak ubahnya rumah tangga raksasa. Di dalamnya negara memainkan
perannya yang tunggal dan pantang diusik seperti layaknya kepala keluarga.
Negara menjadi episentrum: untuk, di dalam, dan demi kepentingan negara. Di
titik inilah totalitarianisme, komunisme, dan nazisme berakar. Negara-bangsa
yang mengandaikan oikia sebagai kiblatnya memosisikan kedaulatan negara
sebagai satu-satunya alat kekuasaan.
Dengan mengatasnamakan hukum, nasionalisme,
patriotisme, heroisme, solidaritisme dan seterusnya, bentuk oikia seperti ini
jelas sangat potensial untuk melakukan depolitisasi dan dehumanisasi terhadap
anggota komunitasnya. Mereka tak lebih sebagai sehimpunan, tanpa otentisitas
yang digunakan sebagai pengawet kekuasaan. Dengan demikian, oikia adalah
sikap yang mereduksi kemampuan krisitis individu untuk ‘bertindak’ di ruang
publik.
Mengacu pada pandangan ini bisa dimengerti, sejak awal
terbentuknya negara-bangsa, lembaga ini tidak memiliki fondasi yang kukuh pada
dirinya sendiri. Negara-bangsa tidak lahir dari kemampuan manusia untuk
‘bertindak’ tapi lebih merupakan ‘karya besar’ dari para ‘negarawan’
perintisnya. Lalu, dapatkah negara-bangsa dipertahankan hingga titik darah
terakhir ketika ia tidak lagi setia merengkuh penderitaan rakyatnya?
EmoticonEmoticon