Thursday 23 June 2016

Negara-Bangsa, Arendt, dan “Res Publica”



 Oleh: Mohd. Sabri AR
 
Ide atau gagasan ibarat sebilah puisi—ia hadir menyapa kita mula-mula lewat nadanya. Tapi Hannah Arendt, tidak hanya hadir sebagai nada namun juga pesona dalam galaksi pemikiran filsafat politik. Bagi Arendt, politik tak cukup sebagai gagasan, ideologi, atau pun teknik, tapi sebuah “tindakan”.

Sebagai pemuka pemikir politik, Arendt tak sedikit mendapat pengaruh dari penalaran Aristoteles, juga napas fenomenoligik-eksistensial Jaspers dan Heidegger. Di fajar abad ke-20 kita menyaksikan kehadiran sederetan pemikir yang menghiasi horizon politik, sebutlah: Raymond Aron, Eric Voegelin, Leo Strauss, Carl Schmitt, dan seterusnya yang seluruhnya laki-laki. Arendtlah, salah satu filsuf perempuan berpengaruh yang lahir di kalangan mereka.

 Arendt secara eksplisit membedakan tiga jenis hirarki kegiatan manusia dalam kehidupan: kerja, karya, dan tindakan yang disebutnya Vita Activa. Jika yang pertama lebih pada pemenuhan kebutuhan bilogisnya, kedua adaptasi-cipta manusia terhadap semesta, yang terakhir lebih pada kemampuannya mengungkapkan diri dalam kehidupan publik.

Tindakan—demikian  pendakuan Arendt—membutuhkan  keberadaan ruang publik, di atas mana kehadiran akan ýang lain’ mutlak dibutuhkan. Dengan ungkapan lain, tindakan membentuk ruang publik, sebaliknya ruang publik memungkinkan manusia untuk ‘bertindak’.

Sejatinya konsep ini diadopsi Arendt dari sistem "polis" Yunani-Antik di mana kehidupan publik menempati hirarki terpuncak. Polis membentuk manusia sebagai bios politikos dengan “tindakan” (praxis) dan pengungkapan diri lewat komunikasi intersubyektif (lexis) sebagai ciri pokoknya. Arendt juga mengandaikan, pembentukan ruang publik meniscayakan ruang privat yang tanpanya kehidupan bersama yang jamak dan kemampuan manusia untuk ‘bertindak’, mustahil tercipta. Di titik ini, Arendt menyebut ruang privat sebagai ‘yang sosial’ dan membedakannya dengan ruang publik sebagai ‘yang politis’.

Maka searah dengan pikiran Arendt, polis dalam masyarakat Yunani-Antik, atau res publica dalam masyarakat Romawi-Kuna—terutama  berfungsi menjamin suatu kehidupan bersama dan mencegah kesia-siaan dalam kehidupan individualistik. Dengan begitu, polis atau res publica (“republik” dalam pengertian Arendt) merupakan benteng terakhir manusia dari berbagai isolasi dan alienasi  yang mengepung hidupnya.

Res publica (‘yang publik’), bagi Arendt, adalah bentuk ideal dari suatu negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu kesatuan politis yang menjamin keberadaan ruang publik. Negara-bangsa sebagai “republik” dengan demikian mutlak menciptakan dan merawat kehidupan yang aneka.  Dalam res publica, kemampuan manusia untuk ‘bertindak’ dijamin, dan tidak terkooptasi manusia lainnya. Pada konteks inilah negara-bangsa sebagai res publica bisa berperan membantu menciptakan suatu identitas tertentu dalam kemampuannya melakukan suatu tindakan, khususnya ‘tindakan’ politik.

Namun, pesimisme Arendt terhadap negara-bangsa terbit menyusul gemuruh kehidupan dunia modern yang mengguncang. Bagi Arendt, dunia modern menyebabkan manusia tercerabut dari diri otentiknya, sesamanya, maupun dunia di mana ia tinggal. Hal ini pertama-tama ditandai dengan kehilangan kemampuan manusia untuk menghadirkan dirinya di ruang publik, di saat yang sama ruang publik tersebut kian memudar dari kehidupan manusia.
Selain itu, res publica—yang sedianya dimaksudkan mengurai aneka kepentingan di antara anggota komunitas—secara masif kehilangan fungsi politisnya. Akibatnya, ruang privat (‘yang sosial’) yang mendominasi kehidupan secara keseluruhan. Terjadi privatisasi dalam segala dimensi kehidupan publik, yang pada urutannya meluncur ke dalam suatu kehidupan layaknya sebuah sistem kekeluargaan dan kekerabatan. Bagi Arendt, keadaan itu menjelmakan sistem yang sifatnya non-politis atau bahkan anti-politis. Dan di titik ini, sebuah negara-bangsa mengalami kerapuhan.

Dengan tidak mampunya negara-bangsa memainkan peran sebagai pembentuk ruang publik yang memungkinkan manusia melakukan tindakan politis, maka negara-bangsa tak lebih dari ruang privat yang diperluas atau rumahtangga dalam skala besar. Inilah yang oleh Arendt disebut sebagai "oikia.".

Oikia, yang telah menihilkan ruang publik, pada urutannya melahirkan “negara-keluarga” “kekuasaan-dinasti” atau “negeri-kaum bos”. Negara tak ubahnya rumah tangga raksasa. Di dalamnya negara memainkan perannya yang tunggal dan pantang diusik seperti layaknya kepala keluarga. Negara menjadi episentrum: untuk, di dalam, dan demi kepentingan negara. Di titik inilah totalitarianisme, komunisme, dan nazisme berakar. Negara-bangsa yang mengandaikan oikia sebagai kiblatnya memosisikan kedaulatan negara sebagai satu-satunya alat kekuasaan.

Dengan mengatasnamakan hukum, nasionalisme, patriotisme, heroisme, solidaritisme dan seterusnya, bentuk oikia seperti ini jelas sangat potensial untuk melakukan depolitisasi dan dehumanisasi terhadap anggota komunitasnya. Mereka tak lebih sebagai sehimpunan, tanpa otentisitas yang digunakan sebagai pengawet kekuasaan. Dengan demikian, oikia adalah sikap yang mereduksi kemampuan krisitis individu untuk ‘bertindak’ di ruang publik.

Mengacu pada pandangan ini bisa dimengerti, sejak awal terbentuknya negara-bangsa, lembaga ini tidak memiliki fondasi yang kukuh pada dirinya sendiri. Negara-bangsa tidak lahir dari kemampuan manusia untuk ‘bertindak’ tapi lebih merupakan ‘karya besar’ dari para ‘negarawan’ perintisnya. Lalu, dapatkah negara-bangsa dipertahankan hingga titik darah terakhir ketika ia tidak lagi setia merengkuh penderitaan rakyatnya?


EmoticonEmoticon