Oleh: Ruslan
Semangat positivisme di era digital memungkinkan
manusia menjadi subjek bagi dirinya sendiri, sekaligus menegaskan bahwa manusia
telah menjadi sangat individual. Kerangka epistemologi dibangun berdasarkan cita-cita
kemanusiaan yang hampa dari nilai etik transendental. Manusia tercerabut dari
akar sejarah eksistensi, dan mengalami apa yang disebut sebagai hilangnya diri
dalam diri. Keadaan ini telah melanda subyek-subyek di era virtual, subyek
telah berevolusi kedalam dunia yang tak tercakapkan. Seperti halnya manusia
modern yang telah menepaki jejak-jejak peradaban dengan semangat saintis
positivistik, mesin teknologi menjadi pusat penghambaan. Ketika relasi manusia
dengan mesin menjadi suatu simbiosis mutualisme, mengarahkan cara berpikir
rasional instrumental manusia modern kedalam cara berpikir berdasarkan
angka-angka (statistik).
Penciptaan mesin untuk menggantikan peran serta
subyek, sebagai suatu konsekuensi logis dari sebuah peradaban barat. Yang menghandaki
adanya efisiensi dan efektifitas pekerjaan subyek. Mesin memang telah menjadi
alat yang membantu pekerjaan manusia, mulai dari alat untuk membuat kopi sampai
peralatan perang (Alutsista) milliter yang super canggih.
Baru-baru ini
misalnya terjadi perang melawan teroris (Isis) di Suriah dan Irak, dimana
masing-masing menggunakan peralatan modern yang super canggih untuk mengalahkan
satu sama lain. Tak terhitung berapa jumlah peluru yang telah dimuntahkan oleh
mesin kecil bernama senjata, namun walau kecil akibatnya sangat besar. Korban
manusia jatuh berantakan seiring muntahan peluruh dikeluarkan, mereka mati
tanpa punya kesempatan bertanya why must me die?. Orang-orang yang
meninggal lebih banyak rakyat sipil dari pada militer maupun kelompok yang di
anggap sebagai teroris, mujahid atau sebutan lainnya.
Ya,,, mesin memang sangat efektif menciptakan
keadaan yang damai tiba-tiba menjadi momok yang menakutkan. Manusia menciptkan
alat-alat tersebut dengan dalih mempertahankan kedaulatan Negara dari ancaman
luar. Yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja bila hubungan kedua Negara
keruh dan mengambil sikap ofensif maupun defensive. Namun bila Negara adi kuasa
yang berseteru, sudah langsung bisa ditebak kekuatan apa yang akan digunakan.
Tentu Alutsista yang modern dengan berbagai generasi di munculkan sebagai
reaksi.
Namun pernahkah kita bertanya bahwa senjata yang diciptakan justru
menciptakan hibriditas kemanusiaan. Proyek utamanya adalah dehumanisasi secara
besar-besaran, membunuh tanpa memiliki rasa kemanusiaan. Inilah yang saya sebut
diatas tadi bahwa rasio instrumental telah tergantikan dengan rasio statistic.
Mesin tidak memiliki nilai (Free value) sebab ia objektif, melainkan manusialah
yang memasukan nilai kepentingan kepada mesin tersebut. Ketika mesin-mesin
telah menjadi alat manusia untuk bebas melakukan apa saja termasuk
mengumandangkan perang. Artinya rasa kemanusiaannya telah mati tergerus oleh
sahwat kekuasaan. Membunuh rakyat sipil dengan kejam tanpa melakukan perlawanan
adalah kejahatan perang yang tidak bisa di terima secara rasio dan hukum
internasional.
Rasio statistik hanya dapat menghitung besar kecil
kemungkinan menang atau kalah, bila rudal balistik ditembakkan ke daerah pemukiman
warga maka secara statistik dapat dihitung besar kecilnya kerugian yang menimpa
obyek. Didalam angka (statistik) tidak terdapat rasa kemanusiaan (Humanistik)
yang dapat memilih dan memilah kebaikan atau keburukan. Yang menjadi suatu
cita-cita seluruh umat manusia, melainkan jumlah angka kerugian yang ditimbulkan
oleh mesinlah yang dapat dihitung berdasarkan statistik. Perbedaannya dengan
rasio, mereka akan mempertimbangkan dengan rasional apakah membunuh manusia
atau tindakan destruktif etis atau tidak.
Akhir-akhir ini kemajuan selalu di persepsikan sebagai
usaha rasional manusia menuju penciptaan teknologi. Teknologi sudah menjadi
barang yang satu padu dengan manusia, seolah tanpa teknologi kita tak akan
banyak berbuat apa-apa. Dari waktu ke waktu selalu muncul barang baru dari
generasi ke generasi, sebut saja hand phone (smart phone). Benda ini awalnya
belum dilengkapi dengan fasilitas fitur yang memanjakan para pengguna smart
phone, tetapi semakin maju pengetahuan manusia maka semakin canggih pula
desainnya. Begitu pula dengan motor, mobil, computer, internet dan sebagainya.
Alat-alat tersebut seperti nyawa kedua kita, kemana-mana selalu menenteng
gadget, rasanya seolah ada yang hilang bila tidak membawa benda pintar ini.
Ketergantungan terhadap teknologi bukan saja
datangnya dari Negara adi daya, yang dimana-mana
terdapat cerobong asap industry, melainkan Negara berkembangpun turut andil
memanfaatkan teknologi untuk penggunaan pembangkitan tenaga listrik berdaya
nuklir dan mesin lainnya. Hanya saja walau masing-masing memiliki persamaan
tetapi perbedaaan kebutuhan sangatlah besar antara kedua Negara. Sangat
bergantung pada roda industry dalam negeri, sehingga pasokannya mengikuti
kebutuhan.
Disini dapat kita memberikan sebuah kesimpulan walau kadang perlu di
evaluasi secara sistematis. Sebuah Negara baik itu Negara maju sampai Negara
terbelakang (dunia ketiga), sangat membutuhkan teknologi untuk menunjang
kemajuan Negara dan memudahkan kerja manual ke otomatis. Teknologi juga menjadi
salah satu ukuran beradab atau tidaknya kita maupun Negara, kita tidak bisa di
anggap beradab kalau buta teknologi. Teknologi juga mampu mengkonstruksi cara
pandang (red-ideologi) manusia modern untuk menjustis beradab atau tidak
beradab, terbelakang atau maju dll.
EmoticonEmoticon